Sunday, April 29, 2018

Genta Kiswara, Sang Seniman Kata Penuh Makna

sumber: instagram.com/gentakiswara


Beberapa waktu yang lalu kita adalah sepasang keinginan untuk menyatu. Saling menyajikan kebahagiaan tanpa jemu. Menanyakankabarmu adalah hobiku saat itu, membesukku adalah hal favoritmu setiap waktu. Beberapa masalah dapat kita tanggulangi tanpa menggerutu.
Namun, itu dahulu sebelum rasa sepi benar-benar membuatku mati. Sebelum di khianati menjadi kendali kesedihan hati. Sebelum hati ini di jeruji oleh sebuah kata pergi yang saat ini tidak bisa kumengerti. Sebelum kau dan aku menjadi sepasang diam yang dahulunya haram dengan kata bungkam.

-Genta Kiswara-

Pada Sebuah Kata Pergi, sebuah judul buku berisi prosa-prosa karangan Genta Kiswara yang lahir dari kerapuhan, keretakan, dan kekecewaan hati. Sebuah buku yang mampu menyihir pembaca untuk merasakan sakitnya patah hati. Menyulap patah hati menjadi sebuah karya, itulah Genta Kiswara.

sumber: instagram.com/gentakiswara

Pria jangkung yang kerap disapa Gegen ini mulai menggeluti dunia tulis menulis sejak duduk di bangku Sekolah menegah Pertama (SMP), tetapi ia mengaku mulai aktif menulis tiga tahun terakhir ini. Gegen mendapatkan inspirasi dari berbagai kehidupan yang sudah ia lewati dan jalani. Berbagai permasalahan dalam hidupnya, baik suka dan duka, ditorehkan menjadi kata-kata yang mampu mengiris-iris hati pembacanya. Terlebih ketika seseorang pernah mengkhianati dirinya, meninggalkan sebuah ruang kosong dengan beling-beling di dalamnya.

Dari situlah ia memutuskan untuk berkelana menenangkan hati dan pikiran yang kalut akan pengkhianatan, akan cinta yang ia lalui, akan kisah-kisah indah, akan masalah yang selalu dihadapi bersama, kini ia harus menanggung semua sendirian, membawa pergi hati yang retak, kembali bersama alam untuk menyembuhkan hati yang rusak parah.

Memang benar kata orang yang aku lupa siapa namanya, Karya yang hebat terkadang lahir dari jiwa-jiwa yang tersakiti. Begitulah Gegen, pria kelahiran Pariaman 27 Mei 24 tahun silam ini menuangkan kisah pelik hidupnya dalam huruf-huruf yang menjadi kata-kata kemudian tergabung dan menjelma dalam kalimat-kalimat yang indah dan penuh makna. Memotivasi insan-insan merana dan mengajak mereka yang sehat untuk merasakan sakitnya patah hati. Mungkin ini makna berbagi tak pernah rugi.

Aku bersyukur mengenal nama pria berambut gondrong ini meski sedikit terlambat. Bak kata orang bijak, bukankah terlambat itu lebih baik daripada tidak sama sekali?. Sebuah undangan dilayangkan ke organisasiku Gagasan UIN Suska Riau, sebuah lembaga pers mahasiswa. Meliput berita adalah kerjaku, bertemu orang luar biasa adalah bonusku.

Tak pelak undangan ajakan kerja sama sebagai media partner ini kumanfaatkan sebaik-baiknya. Berbekal sebuah nama yang asing di mata tapi seperti pernah kudengar di telinga, ku telisik lagi nama lelaki penikmat kopi ini. Yup baru mengintip melalui jendela instagram aku sudah terhenyuh dengan kata-kata yang ia torehkan di setiap caption foto-fotonya. Yang membuatku semakin tertarik adalah kalimat-kalimatnya yang mampu membuatku tersihir seolah-olah pernah merasakan tapi entah di mana. Tanpa sadar Gegen berhasil menyeretku dalam luka-luka yang ia rasakan, membuatku kembali mengingat rasa sakit yang pernah menoreh hati. Tetapi entah mengapa, aku suka.

Menyulap Patah Hati Menjadi Kebaikan

Bagaimana mungkin? Patah hati menjadi menjadi kebaikan?. Tapi  memang itu tema yang diusung Public Relation Celebration yang mendatangkan Gegen. Dari sakit hati itulah Gegen terinspirasi, bukan dari rasa bahagia, tetapi dari sakit yang menorehkan luka cukup dalam.

Jadi andaikan suatu saat nanti kau patah hati kawan, usahlah kau bersedih hingga berlarut-larut. Jadikanlah itu suatu pelajaran, jadikanlah itu sebuah kenangan, jadikanlah itu sebuah karya yang mewakili dendam mu pada dia yang menyakitimu.

Kenapa harus menulis? Kelak bibirmu akan dikubur ke dalam tanah. Maka, menulislah. Itulah slogan yang acap kali Gegen ucapkan. Ketika ditanya kenapa, Gegen mengutarakan jika dengan menulis karyanya akan tetap hidup dan bermanfaat bagi orang lain, dengan menulis itu menjadi bukti bahwa ia pernah ada di dunia selain pusara.

Kalau hidup sekadar hidup, babi di  hutan pun hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja.

-Buya Hamka-

Itulah sepenggal kalimat ajaib Buya Hamka yang selalu digenggam Gegen Sang Pencinta Kopi. Kuberi tahu padamu kawan, Gegen mengaku dia sangat mencintai kopi, baginya kopi sudah seperti air putih pelepas dahaga, bisa dia lupa minum air putih hanya karena terlanjur minum kopi. SeIain penulis ia juga seorang barista di kedai kopinya sendiri, katanya jika ingin  menemui datang saja ke Espresso Beach Café, Pantai Gandoriah, Pariaman. Datanglah saat malam karena Gegen termasuk manusia nokturnal.

Kopi dan Gegen ibarat gula dan semut, jangan harap untuk memisahkannya, karena kau pasti tau sendiri kawan, rasaku tak perlu susah payah aku jelaskan. Kopi juga melahirkan filosofi menarik bagi Gegen. Nikmatilah kopi terpahit tapi dengan kenangan termanis, entah apa maksudnya yang jelas menurutku mereka berdua pacaran meski ketika ditanya Gegen lebih senang menjawab bahwa dia single.

Evolusi Rindu, adalah buku kedua Gegen setelah Pada Sebuah Kata Pergi, jika di buku pertama Gegen menjelaskan kisah pilu cintanya dalam prosa maka di Evolusi Rindu Gegen mengisahkan kerinduannya akan sesuatu yang masih memiliki keterkaitan dengan Pada Sebuah Kata Pergi.



Bagiku rindu adalah suatu perasaan gundah dan bahagia yang terjadi karena faktor jarak, kehilangan, dan kepergian. Perasaan tersebut bisa saja suka, duka, lara atau bahkan kecewa. Tergantung posisi diriku, apakah merindukan seseorang karena terpisahkan oleh jarak, atau merindukan seseorang yang hilang tanpa alasan, atau bahkan merindukan seseorang yang telah benar-benear pergi dari kehidupan ini. Faktor-faktor tersebutlah yang sering kali menjadi landasan atas kemunculan rindu dalam kehidupanku, memengaruhi perasaan yang kemudian membuat diriku gundah gulana, suka dan duka, atau kecewa dan lara.

-Genta Kiswara-

Selain menulis Gegen juga memiliki hobi traveling dan fotografi. Bisa dilihat dari foto-foto yang berserakan di sosial media miliknya dan buku-bukunya. Baginya traveling adalah menyatu dengan alam, tempat mencari inspirasi dan pengobat luka, tak tanggung-tanggung sudah banyak tempat-tempat di Indonesia yang berhasil ia pijak. Hutan, gunung, sawah, lautan telah  ia sambangi, dari Marapi hingga Rinjani, dari Aceh hingga Maluku. “Aku paling suka Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB),” katanya. Dari traveling juga Gegen banyak menghasilkan karya. Ia menuturkan bahwa untuk buku ke tiganya nanti akan bertajuk traveling.

“Membaca dan menulis itu tak bisa dipisahkan, ketika pikiran sedang buntu bacalah, baca buku, jika tidak ada uang untuk membeli, pergilah ke perpustakaan,” kata Gegen. Ia juga mengatakan jika menulis tanpa membaca sama hal nya dengan berkata-kata tanpa tahu makna, bagaimana mungkin seseorang menulis novel tanpa pernah membaca novel?

Awalnya Gegen bercita-cita untuk menjadi seorang aktor, tapi karena menurutnya dia tidak punya wajah bak model ia mengurungkan cita-citanya yang agung dan bertolak menjadi penulis. Padahal menurutku pria murah senyum ini berparas manis dan tidak membosankan untuk dilihat. “Dulu pengen jadi aktor, tapi nyadar, aku ini tidak ganteng,” ujarnya.

Selain menulis Gegen juga lihai memainkan gitar dan bernyanyi. Ia juga berencana untuk terjun ke dunia musik dalam waktu dekat, dalam CD yang dibagikan secara terbatas pada buku-bukunya berisi lagu-lagu dengan Gegen sebagai pemain musiknya.

Suatu saat nanti aku akan bertandang ke Espresso Beach Cafe, memesan kopi paling pahit dan mengobrolkan kenangan termanis. Tapi usahlah kau menanti, karena aku tidak tahu pasti kapan itu terjadi, tapi yakin saja, aku pasti datang, meski tak kau harapkan. Salam rindu dari negeri nun di ujung Riau.

Ika, Payung, Linda, Genta, Muthi, Nafi (aku) dalam sesi wawancara bersama Genta di Pustaka Soeman HS Pekanbaru



Previous Post
Next Post

0 komentar: