Monday, October 1, 2018

Resensi Pasung Jiwa: Melihat Dunia dari Sudut Pandang ‘Mereka’


Oleh: Mujawaroh Annafi
Judul               : Pasung Jiwa
Penulis             : Okky Madasari
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal               : 328 hlm; 20 cm
Cetakan           : Pertama, Mei 2013
ISBN               : 978-979-22-9669-3

Seluruh hidupku adalah perangkap. Tubuh adalah perangkap pertamaku. Lalu orang tua, dan semua orang yang kukenal. Kemudian segalah hal yang kuketahui serta segala sesuatu yang kulakukan
-Sasana-
Hidup terkungkung dengan sejuta aturan keluarga dan adat serta norma yang berlaku di masyarakat membuat hidup Sasana berjalan sebagaimana yang keluarganya inginkan. Terlahir dari ayah seorang pengacara dan ibu seorang dokter Sasana harus menjadi sosok yang membanggakan keluarga. Sedari ia di dalam kandungan hingga ia beranjak remaja kedua orang tuanya telah mengenalkan kepadanya benda legenda di keluarganya, Piano.

Yang Sasana tahu hanyalah ia harus membuat bangga kedua orang tuanya, berlatih memainkan tuts-tuts piano membuat ia menjadi pianis hebat yang menyabet berbagai penghargaan dan menjadi siswa berprestasi di sekolah. Kendati demikian Sasana tak pernah mencintai apa yang ia lakukan, ia hanya menuruti kehendak kedua orang tuanya. Hingga suatu hari ia mendengarkan sebuah irama yang membuat jiwa dan raganya bergoyang mengikuti lantunan lagu, tak lain tak bukan, Dangdut.

Sejak saat itu kecintaannya dengan dangdut semakin menjadi-jadi hingga kedua orang tuanya menjauhkan Sasana dari segala hal yang berbau dangdut. Hal ini membuat Sasana berpikir, jika orang tuanya tak mengindahkan kemauannya maka ia juga tak ingin lagi bermain piano seperti keinginan orang tuanya.

Sasana menginjak usia remaja, ia tak terlihat seperti lelaki pada umumnya. Ia begitu iri melihat lekuk tubuh adik perempuan kesayangannya, ia ingin memilikinya membayangkan dirinya memakai pakaian yang indah seperti yag dipakai sang adik dan berbagai hal yang dilakukan dan dimiliki adiknya, pernah suatu ketika Sasana menggambar sebagai tugas sekolah dengan objek manusia, Sasana menggambarkan tubuh perempuan telanjang, meski tak sempurna dan tak bisa dikatakan bagus, semua orang tahu bahwa yang digambarkannya adalah tubuh telanjang seorang wanita. Tak pelak orang tua Sasana harus menghadap kepala sekolah karena kejadian ini.

Masuk ke masa Sekolah Menengah Atas (SMA), ayah Sasana memasukkan dia ke sekolah khusus laki-laki, di sini ia tak diperlakukan sebagaimana manusia. Jabatan dan kekuasaan di atas segala-galanya, Sasana dibulli habis-habisan oleh teman-temannya hingga akhirnya ia terpaksa dipindahkan ke sekolah biasa yang banyak perempuannya.

Kuliah di Malang, jauh dari orang tua di Jakarta membuat Sasana merasakan kebebasan yang selalu ia idam-idamkan, memanjangkan rambut, berbedak, bernyanyi, bergoyang dengan irama dangdut tak ada lagi yang melarang. Hingga ia berjumpa dengan Jaka Wani, yang membawa Sasana menemukan dirinya yang lain bernama Sasa.

Hengkang dari dunia perkuliahan, Sasana yang acap kali dipanggil Sasa bersama Jaka Wani atau Cak Jek mulai mengamen setiap malam, mengais rezeki dari tiap lagu yang dinyanyikan, dengan penampilan baru Sasa yang menggoda setiap manusia yang memandang.

Kendati demikian, perjalanan tak semulus yang diidamkan, Jaka Wani bersama Sasa menyuarakan keadilan dengan berani terkait hilangnya buruh pabrik yang juga anak dari orang terdekat Sasa dan Cak Jek. Tak pernah terpikir oleh mereka ini akan memberikan trauma mendalam bagi Sasa.

Sasa ditangkap oleh aparat negara, disiksa tanpa dimintai keterangan, mereka hanya tau menyiksa dan menyiksa, keadilan dikesampingkan. Tak cukup di siksa Sasa juga mendapatkan kekerasan s3ksual selama berminggu-minggu dikurung yang membuat Sasa hilang kewarasan.

Novel ini juga mengisahkan kehidupan Cak Jek setelah ditangkap, menjadi robot di pabrik dan bekerja seadanya, menjadi bagian di dunia gelap, menyuarakan suara yang teredam dibalik megahnya kota Batam, hingga ia menjadi bagian dari organisasi masyarakat yang berkerja untuk membela Tuhan.

Apa yang Cak Jek dan Sasa cari adalah kebebasan. Tapi bebas dari belenggu kekuasaan, hukum, kungkungan tradisi, agama, persoalan ekonomi dan keluarga pun belum tentu dapat dijadikan landasan kemenangan atas kebebasan. Justru kemerdekaan atas kungkungan tubuh dan pikiran setiap manusia yang berbeda inilah yang dapat dijadikan sebagai puncak kebebasan manusia.

Okky Madasari, penulis novel ini menghadapkan tokoh-tokohnya pada perangkap di luar diri mereka seperti agama, gender, aturan, dan pandangan masyarakat. Selain itu novel ini juga berisi protes tentang manusia-manusia yang dipandang sebelah mata, mereka yang memasung diri dengan ikatan pandangan masyarakat, mereka yang hidup di balik gemerlap kehidupan kota-kota besar, mereka yang berpangkat dan semena-mena, mereka yang bersorban mengatasnamakan Tuhan dan membela Tuhan ternyata tak seputih sorban yang dikenakan.

Novel ini membawa pembaca melihat dari sudut pandang mereka yang tersingkirkan, yaitu sudut pandang orang-orang yang ada tapi tak didengar. Okky tak memanjakan pembaca dengan kisah bahagia, tapi Okky membawa pembaca larut dalam rasa penasaran, merasakan perjuangan mencari kebebasan, perjuangan memperoleh keadilan, dan perjuangan menjadi diri sendiri

Previous Post
Next Post

0 komentar: