Wednesday, December 26, 2018

Sepanjang Jalan Pandanaran




Berkunjung ke Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Idea UIN Walisongo kemudian ke LPM Justisia berjalan kaki, menikmati malam terakhir di Semarang bersama kawan-kawan Persma, melihat indahnya malam di seputaran kampus UIN Walisongo.


Usai bercengkrama Jelita dan Roni asal Aceh mengajak berbelanja oleh-oleh khas Semarang. Jika Jelita ingin berbelanja barang-barang berbeda dengan Roni yang ingin membeli makanan khas Semarang. “Terserah apa aja deh, yang penting ada tulisan ‘Semarang’ nya,” ungkapnya.

Akhirnya aku, Jelita, Roni dan Eva (asal Surabaya) diajak berkeliling Semarang dengan Ainun dan Firda, tuan rumah dari LPM Idea. Kami kembali menyusuri jalan sekitar Simpang Lima untuk mencari pernak-pernik khas Semarang seperti gantungan kunci, baju dan lain-lain.

Kami terbagi dua kelompok, aku dengan Jelita, Eva dan Firda, sedangkan Ainun dan Roni tengah asik membangun roman di antara mereka (hahaha). Kami bertemu kembali di pusat kuliner di tepi jalan yang lupa aku namanya.

Usai memesan minuman kami kembali menyusuri jalan yang sama dan tak menemukan apa yang kami cari. Begitu sulit menemukan oleh-oleh bertulisan ‘Semarang’ di tempat ini. Lelah dengan kenyataan yang menyedihkan, Jelita memutuskan membeli kaus bergambar Lawang Sewu bertuliskan Semarang untuk ku, dia membelikan satu untukku dan aku membelikan satu untuknya. Sebagai hadiah perpisahan.

“Di Jalan Pandanaran ada oleh-oleh kuliner khas Semarang, kita jalan kaki aja ke sana, dekat kok,” kata Ainun. Alhasil kami berjalan sepanjang trotoar Pandanaran. Satu lampu merah, dua lampu merah, hingga kaki-kaki ini bergetar tak sanggup melangkah lagi.

“Masih jauh lagi ya?” Aku bergumam berharap seseorang menjawabnya. Ketika melihat gedung-gedung tinggi aku menyeletuk betapa malam sebelumnya kami menginap di hotel berbintang empat dan lihatlah sekarang, kami duduk selonjoran di tepi jalan yang mulai sepi. “Kemarin malam kita tidur di sana lo.” Kataku pada Eva, dia hanya tersenyum lemah.

“Aku dah tak sanggup lagi.” Ujar Jelita.

Setelah cukup beristirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan lagi, akhirnya yang kami cari pun terlihat samar-samar. Setelah berjalan cukup jauh, cukup malam dan akhirnya sampai yang kami dapati hanya kekecewaan. Ternyata gerai oleh-oleh itu tutup. Yap. Tutup.

Ainun berulang kali meminta maaf yang sebesar-besarnya, ia benar-benar tidak tahu jika gerai yang kami cari ternyata lebih jauh dari dugaannya dan ternyata tutup ketika kami tiba. Memang melelahkan perjalanan kami malam itu, kisah ini tentu tak akan terlupakan. Jalan Pandanaran saksi bisu bahwa kita pernah bertemu dan berjalan bersama di bawah lampu jalanan.

Akhirnya kami pulang tanpa membawa apa-apa kecuali kaus tadi, kembali ke kosan Firda. Tidak berjalan kaki kawan, kami tak akan sanggup berjalan sampai sana, kami naik grab. Sampai tujuan kami terlelap dan terbangun keesokan harinya.

Jelita dan Roni pulang ke Aceh, pagi itu. Sedangkan Eva melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta, dan aku? Aku masih punya ssatu hari di Semarang, karena keretaku tujuan Malang berangkat pukul 9 malam.
Previous Post
Next Post

0 komentar: