Sunday, January 6, 2019

Jalan-Jalan di Malang: Alun-Alun Batu Penuh Cerita



Pukul sepuluh pagi aku tiba di Stasiun Kota Baru, Malang Jawa Tengah. Setelah sepuluh jam berada dalam kereta api, aku bisa menghirup udara Malang kala itu.

Kota Malang memiliki sangat banyak julukan, seperti Paris of East Java, Kota Pelajar, Kota Kuliner dan banyak lagi lainnya. Berbeda dengan Kota Semarang yang cuacanya panas, siang itu Malang sedikit lebih sejuk. Langsung saja aku menuju Asna, saudaraku yang menjemputku di stasiun.

Baru keluar dari stasiun aku melihat sangat banyak gunung di Malang, ada Ijen, Bromo, Semeru, Rinjani, Merapi dan lainnya. Jangan salahkan aku kawan, itu memang benar adanya, meski cuma berbentuk sebuah plang. Tepatnya nama jalan. Ada banyak jalan yang diberi nama sepertu nama gunung.

Demonstrasi cacing-cacing di perutku mengantarkan kami ke warung makan yang tidak jauh dari kampus Universitas Malang (UM). Aku tak suka pedas kawan, tapi berada di Malang membuatku merindukan rasa pedas dari daerah asalku, Riau. Sambalnya memang pedas, tapi rasa manis lebih mendominasi dan kurang cocok dengan selera lidahku yang belum terbiasa.

Malamnya, usai salat maghrib. Aku diajak pergi ke Kota Batu. Dengan santainya aku keluar hanya memakai kaus lengan panjang seperti yang kupakai biasanya. Asna melemparkan jaket kepadaku. Katanya Malang dingin, semakin malam semakin dingin. Dan benar saja brrrrr. Dinginya mulai menusuk kulit.

Alun-alun Batu. Itulah tujuan kami, banyak cosplayers yang mencari nafkah di sini. Maksudku orang-orang berpakaian unik untuk diajak berfoto, ada pocong, kuntilanak, penyihir, robot hingga landak. Aku sempatkan beefoto bersama landak karena cukup unik menurutku. Tentu saja harus membayar, tapi seikhlasnya.

Ada banyak wahana di sana, aku melihat bianglala besar dengan lampu berwarna-warni. Sayangnya, ketika aku di sana bianglala tidak sedang beroperasi. Kota Malang disebut juga Kota Apel, di alun-alun ini,  ada banyak patung apel berukuran sedang hingga jumbo seukuran rumah (yang kecil). Air mancur dan lain-lain.



Puas berfoto-foto kami menjelajahi kuliner di alun-alun. Berbelanja oleh-oleh gantungan kunci yang harganya sangat murah menurutku. Empat buah gantungan seharga Rp. 10 ribu, dengan bentuk bervariasi dan tentunya ada tulisan Malang. Jangan lupa satu hal kawan, kalau kau mau membeli oleh-oleh dari suatu tempat harus ada nama kota yang kamu kunjungi. Jika tidak, maka rekanmu akan sanksi kalau kau membelikannya di tempat yang kamu datangi.

Minum jeruk peras murni yang diperas langsung, rasa manisnya benar-benar segar. Apalagi diminum sambil memyantap kuliner cumi yang kami beli tadi. Duduk di bawah temaram lampu dan menikmati dinginnya Kota Batu.

"Fik, buang sampahnya di tong sampah," kata Asna setelah kami selesai makan.

"Oke," aku menenteng sampah di tangan kananku dan oleh-oleh gantungan kunci yang kumasukkan kresek di tangan kiriku.

Usai membuang sampah aku mengajak Asna pulang. Tiba-tiba langkahku terhenti ketika memandang tangan kananku yang masih memegang sampah. "Jadi apa yang kubuang tadi," pikirku. Sontak aku kembali menuju tong sampah dan memanggil Asna.

"Dasar bodoh," umpat Asna. "Yang dibuang tu sampah, bukan oleh-oleh," tambahnya sambil tertawa.

Melihat kelakuan kami merogoh tong sampah, beberapa orang di sekitar kami tertawa terbahak-bahak dan lainnya tak tahu apa yang sedang ditertawakan.

Kami menuju tempat parkir motor dan melihat seorang kuntilanak tengah pacaran dengan pacarnya, kuntilanaknya laki-laki. 10 meter dari kuntilanak tersebut, seorang penyihir perempuan tengah asik menggoda dan menarik-narik tangan pria yang melintas di depannya untuk diajak berfoto. Aku tertawa melihat itu semua, tak terasa aku sudah berada di boncengan motor untuk pulang ke kos Asna di Malang.
Previous Post
Next Post

0 komentar: