Thursday, January 3, 2019

Pengalaman Pertama Naik Kereta Api




Urip kuwi koyo sepur, madep mantep lurus neng dalane. Gandeng seng kenek digandeng. Tinggal seng ra penting. Tubruk seng ngalangi dalan. (Hidup itu seperti kereta api, menghadap mantap lurus di jalannya. Gandeng yang bisa digandeng. Tinggalkan yang tidak penting. Tabrak yang menghalangi jalan).

Tinggal di Riau, kemungkinan melihat kereta api secara langsung adalah kecil. Kenapa? Karena di Riau tidak ada kereta api, kalau di Sumatera Barat (Sumbar) baru ada. Betapa aku iri dengan orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa sana. Bagaimana tidak? Pergi lintas provinsi mungkin hal biasa bagi orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa.

Jarak dari Malang ke Semarang memakan waktu sekitar sepuluh jam. Awalnya aku hendak pergi bersama Ravi dari Universitas Brawijaya Malang, sekalian ada temannya gitu. Sebelumnya kami mengikuti agenda Workshop Sejuk yang diadakan di Semarang.


Ravi berencana pulang Sabtu Malam dan rencananya akan tiba di sana Minggu pagi. Setelah aku cek lagi harga tiket kereta api di sebuah aplikasi ternyata lumayan mahal, sekitar Rp. 200 ribu lebih, jika berangkat Minggu malam biayanya hanya Rp. 100 ribuan. Tentu saja aku memilih opsi yang lebih murah dan menikmati satu hari lagi di Semarang sambil jalan-jalan. Maklumlah belum pernah ke Semarang.


Minggu pagi aku menghabiskan waktu bersama Jelita sembari menunggu jadwal terbangnya, juga bersama Eva yang akan berangkat ke Yogyakarta naik bus. Setelah mereka berdua pergi aku bermain di LPM Idea dan bercengkerama dengan penghuninya.

Sisa hari itu kugunakan untuk eksplor Semarang mengunjungi Lawang Sewu dan Masjid Agung Semarang bersama Atok. Baca: Wisata Semarang.

Puas berjalan-jalan, malamnya aku diajak makan tahu penyet di sekitar kampus UIN Walisongo bersama kru LPM Idea, Ainun, Firda, Atok, Nizar dan Farid. menunggu itu rasanya menyebalkan, menunggu tahu penyet lebih menyebalkan karena lamanya saaaangaaaat laaaamaaaa.

Tiketku pukul sepuluh malam, kami memesan makanan dari jam setengah delapan tapi makanan benar-benar tiba di meja kami satu jam kemudian. Buru-buru aku makan dan segera meninggalkan meja setelah berfoto bersama. Kata Nizar, tak usah terlalu khawatir karena Stasiun Tawang tidak terlalu jauh. Firda juga menambahkan kalau kereta api tidak se ontime pesawat.

Sebelum ke stasiun aku terlebih dulu mengambil barang-barangku di kos Firda yang lumayan jauh dari warung tempat kami makan tadi. Setelah itu memesan ojek online (ojol), letak kosan yang berkelok-kelok sempat membuat drivernya tersesat dan butuh waktu lama untuk menemukan lokasi kami.

15 menit sebelum kereta berangkat, aku baru naik ojek, dan tentu saja, drivernya kusuruh ngebut sengebut-ngebutnya. Stasiun yang kata Nizar dekat ternyata sangat jauh, belum lagi banyaknya lampu merah yang harus kami lewati. Ada beberapa lampu merah yang sengaja dilanggar oleh driverku saat itu. Tak henti-hentinya Asna, kakakku yang membelikanku tiket menelepon untuk segera ke stasiun.

Tiba di Stasiun Tawang, Bapak Ojol langsung masuk tanpa izin parkir dari petugas terlebih dulu, berlari-lari aku menuju pintu stasiun, belum lagi aku check in dan mencetak boarding pass. Karena baru pertama kali, aku tidak tahu apa-apa. Waktu semakin mepet, dengan panik aku bertanya ke sembarang orang di stasiun.

“Kak di mana check in-nya?”

“Di sana dek.” Jawab seseorang sambil menunjuk ke beberapa monitor di ruang itu.

Aku segera menuju monitor layar sentuh tersebut, saking paniknya aku tak tahu apa yang harus kulakukan, di sampingku ada seorang bapak-bapak dan langsung saja aku memintanya untuk mencetak boarding passku. Melihat mukaku yang memelas bapak tersebut mendahulukan keperluanku daripada keperluannya. Kemudian dengan memasang wajah kasihan bapak itu mengatakan kalau keretaku sudah pergi satu menit yang lalu alias tidak bisa dicetak lagi.

Lemas mendengar semua itu, aku berlari sambil menyeret koperku menuju pintu pemeriksaan dan bertanya memastikan ke petugas yang berjaga. Petugas itu mengatakan kalau keretaku baru saja pergi dan tiketku sudah hangus. “Kalau mau pergi malam ini, nanti jam setengah satu ada kereta lagi, pesanlah tiketnya sekarang,” ujarnya.

Aku melihat berkeliling, puluhan pasang mata tengah memandangku dengan wajah kasihan. Aku segera menyeret koperku diiringi pandangan ingin tahu orang-orang di ruangan itu.

Satu hal yang menjadi pelajaran hari ini, jangan menganggap sepele kereta api, ia tidak akan pernah menunggumu, memanggilmu saja dia tak kan sempat. Bukan untung malah buntung, setelah tiket hangus, aku harus membeli tiket dengan harga Rp. 200 ribu, aku kembali teringat Ravi.

Tak mau kejadian serupa terulang lagi, aku menunggu di ruang tunggu dan memastikan aku tidak tertidur ketika kereta datang. Terimakasih untuk temanku Vitra yang menelepon di waktu yang tepat, saat aku sendirian di negeri orang dan menemaniku melalui suara menunggu kereta. Setidaknya sampai paket dia habis. Asna juga tak henti-hentinya mengutukiku. “Rasakno dewe, kan wes tak omongi (rasakan sendiri, kan sudah ku kasih tahu),” tulisnya pesan singkat.

Ketika menunggu tiba-tiba pria paruh baya datang dan duduk di dekatku, bertanya apakah aku baik-baik saja. Ternyata dia adalah driver ojol yang mengantarku tadi. Ia meminta maaf kepadaku dan berniat menggantikan uangku untuk membeli tiket tadi. Tentu saja aku tolak, karena itu bukan sepenuhnya salah dia, tapi aku yang terlalu lalai.

Kereta Majapahit jurusan Malang, telah tiba di Stasiun Tawang tepat waktu, berhenti untuk menjemput penumpang kemudian pergi lagi tanpa menunggu mereka yang ketinggalan. Aku langsund duduk tertidur setelah men charge smartphone, tak perlu aku khawatir jika tertidur, karena pemberhentianku adalah stasiun terakhir kereta ini.

Previous Post
Next Post

0 komentar: