Tuesday, August 6, 2019

Kunjungan Luar Biasa ke DMPA Desa Batu Gajah, Kecamatan Tapung, Kampar



Forest talk with blogger Pekanbaru

Jalan-jalan sambil belajar, siapa sih yang tidak menyukai kegiatan seperti ini. Bagi aku pribadi, jalan-jalan adalah proses belajar, mengetahui budaya dan kehidupan masyarakat yang menjadi inspirasi untuk terus maju.

Usai pemberian materi dari beberapa narasumber kece seperti Manager Climate Reality Indonesia Dr Amanda Katili Niode tentang perubahan iklim serta pohon dan ekonomi kreatif. Kemudian dari Tropenbos Indonesia Dr Atiek Widayati yang menjelaskan tentang pengelolaan hutan lestari. Lalu pemateri yang menjelaskan terkait Desa Makmur Peduli Api (DMPA) dari Asia Pulp and Paper (APP), Tahan Manurung.

Awalnya kukira, agenda bernama Forest Talk with Blogger Pekanbaru yang bertajuk Menuju Pengelolaan Hutan Lestari ini hanya disampaikan di dalam ruangan. Seperti seminar pada umumnya, duduk, mendengarkan, dan tanya jawab.

Ternyata, aku salah besar. Siapa sangka, tak hanya diberi penjelasan terkait DMPA, tapi peserta Forest Talk juga diajak langsung menuju DMPA yang berada di Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar tepatnya di Desa Batu Gajah.

Dari Pekanbaru menuju Desa Batu Gajah membutuhkan waktu lebih kurang tiga jam perjalanan menggunakan bus, melewati Jalan Garuda Sakti Jalur Petapahan.  Sepanjang perjalanan lebih banyak kuhabiskan waktu untuk makan, minum dan tidur. Aku kerap kali merasa mual jika menggunakan kendaraan darat tertutup seperti mobil atau bus. Jadi tidur adalah pilihan terbaik.

Foto sebelum tidur
Aku terbangun dari tidur ketika bus berbelok dari jalanan beraspal menuju jalan tanah berwarna kuning dan berdebu. Melewati hamparan kebun-kebun sawit. Pemandangan yang menurutku biasa saja. Kau tahu kawan, sawit itu ada dimana-mana terutama di Riau. Setiap mata memandang pasti ada sawit.

Aku ingin kembali terlelap dalam tidur, tetapi kondisi bus yang terguncang oleh jalanan memaksaku menikmati pemandangan sawit yang biasa. Hingga melewati portal yang dijaga oleh sekuriti. Masih sawit.

Tapi mataku terbuka lebar ketika perlahan-lawan sawit menghilang dari pandangan. Di kiri dan kanan pohon-pohon kurus tinggi menjulang, daunnya melambai-lambai seolah mengucapkan selamat datang pada rombongan Yayasan Doktor Sjahrir ini.

Tepi jalan
Aku merasa seolah berada di suatu tempat yang entah dimana. Mualku terasa hilang berganti perasaan takjub. Andai ku punya kuasa, ingin kusuruh berhenti sopir bus agar aku bisa berfoto mengabadikan momen indah ini.

Fotonya Travelerian.com (Mbak Kate)
“Mbak Oci, tempatnya bagus ni kalau dibikin buat prewed,” kataku pada Mbak Oci yang duduk di sebelahku.

Pohon-pohon tersebut adalah pohon yang biasa digunakan sebagai bahan dasar kertas. Pohon eukaliptus. Katanya ada dua jenis pohon di hutan-hutan yang kami lewati, selain eukaliptus juga ada pohon akasia.

Hutan tersebut ternyata milik perusahaan kertas APP Sinarmas. Terdapat pohon-pohon yang sudah tinggi, ada yang masih anak-anak dan ada yang masih balita, serta ada yang baru digundul.

Pohon-pohon dewasa, siap ditebang sebelum masuk ke pabrik. Setelah itu lahan akan ditanam kembali dengan pohon yang sama. Secara bergiliran setiap lahan ditanam dan ditebang, ditanam lagi, ditebang lagi, ditanam lagi begitu seterusnya secara bergiliran. Ada banyak pohon-pohon balita setinggi lutut orang dewasa yang diberi tanda dengan pita-pita.

Hampir 23 km jauhnya dari jalanan beraspal menuju Desa Batu Gajah. Tanpa melewati satu pun rumah, atau kedai kecil atau pun bengkel. Tak bisa kubayangkan andai aku sedang asik megendarai motor melewati hutan-hutan eukaliptus kemudian banku tiba-tiba bocor. Untung saja aku naik bus. Hahaha.

Sesampainya di Desa Batu Gajah, kami diberi sambutan yang hangat dari penduduk setempat. Panitia dari Yayasan Doktor Sjahrir membagikan makanan yang dibawa dari Pekanbaru. Kendati demikian penduduk setempat juga membagikan makanan yang tak bisa dibilang ringan sebagai makanan cemilan. Seperti jagung rebus, ubi goreng, dan lain-lain. Ingin rasanya aku membawa pulang untuk makan di rumah. Tapi sudahlah, harus jaga image.

Mas-masnya yang nyuguhin
Desa Batu Gajah adalah salah satu DMPA binaan APP Sinarmas. DMPA adalah desa yang dibina agar masyarakatnya tidak lagi bergantung pada sawit. Dimana masyarakat dahulu menggantungkan hidupnya pada kebun sawit dan cenderung membuka lahan dengan cara pembakaran yang mengakibatkan bencana yang lebih besar dan asap yang meracuni pernapasan manusia.

Program ini juga menyalurkan pelatihan dan modal ke setiap desa-desa yang dijadikan DMPA. Dengan suksesnya DMPA diharapkan masyarakat tidak lagi tertarik membuka lahan baru untuk sawit, serta mewujudkan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab.

Nah di Desa Batu Gajah terdapat beberapa program-program yang dilaksanakan sebagai DMPA. Seperti ternak sapi, hortikultura dan bantuan untuk nelayan.

Saat itu, ibu-ibu Desa Batu Gajah sempat menampilkan demo masak yang menghasilkan produk-produk yang ternyata mampu membantu ekonomi masyarakat Batu Gajah. Produk-produk tersebut berupa produk makanan. Seperti keripik pisang dan tempe yang digoreng kering.

Meletup-letup minyak dikuali, tapi ibu-ibu tersebut tetap santai menggoreng tanpa rasa khawatir. Keripik pisangnya tebal dan panjang. Lupa kutanyakan jenis pisang apa. Ketika digigit rasanya renyah dan tentu saja enak. Produk ini memanfaatkan hasil olahan dari alam dan proses produksi yang ramah lingkungan.

Goreng-goreng
Tak hanya itu saja, Ibu Amanda juga sudah menjelaskan terkait penggunaan pewarna alam untuk mewarnai. Nah di Desa Batu Gajah hal ini juga diterapkan oleh pengrajin tudung saji. Tudung saji dari Desa Batu Gajah terbuat dari olahan bambu. Bentuknya seperti caping, awalnya kukira caping. Setelah ia menjelaskan baru aku mengerti jika itu adalah tudung saji untuk menyimpan makanan dan menjaga makanan dari lirikan kucing oren.

Proses gambarisasi pakai tinta alami
Pewarna alami tersebut adalah tinta berwarna hitam. Dibuat dari jelaga. Tahu kan, biasanya lampu oblek, dimar, atau pelita, atau lampu togok atau apa pun itu namanya jika dihidupkan sepanjang malam, akan meninggalkan karbon berwarna hitam yang disebut jelaga.

Tudung saji
Jelaga tersebut dicampur dengan getah dari kulit jeruk nipis. Kemudian baru digunakan untuk mewarnai tudung saji dengan motif-motif agar lebih menarik.

Tudung saji ini juga dijual dan membantu perekonomian masyarakat. Di waktu-waktu tertentu, seperti lebaran. Tudung saji akan sangat laris dijual bahkan dipasarkan hingga ke luar negeri. Mantul.

Tak sampai di situ, di Desa yang dikenal sebagai pemasok cabai terbesar ini, kami juga diajak mengunjungi peternakan sapi. Sapi-sapi tersebut adalah sapi bantuan. Awalnya hanya terdapat enam ekor sapi pada tahun 2016. Tahun ini, jumlah sapi di peternakan tersebut telah beranak-pinak dan mencapai 20 ekor sapi. Luar biasa.

Peternakan sapi
Usai mengunjungi peternakan tiba saatnya untuk pulang. Sedih rasanya, padahal masyarakat setempat bersiap mengantarkankan kami menuju persinggahan berikutnya di Desa Batu Gajah. Karena waktu tak mendukung, kami harus segera bersiap kembali ke Pekanbaru.

Lagi, melewati hutan eukaliptus, akasia dan sawit. Sebelum akhirnya roda-roda bus menyentuh  aspal halus dan mengantarkanku ke Pulau Kapuk (tidur).

Pengalaman luar biasa, bersama orang-orang luar biasa, di tempat luar biasa dan mendapatkan ilmu yang luar biasa. Terimakasih Yayasan Doktor Sjahrir.

Foto bareng 

Previous Post
Next Post

2 comments:

  1. Weeeh jadi pengen kesana, seru kayaknyaaa

    ReplyDelete
  2. Pohon pas waktu keluar dari kebun sawit. Pohon apaan tuh jenisnya?. Apakah jenis pohon yang bisa mematikan listrik hampir seluruh Jawa. Vlognya ditunggu juga.

    ReplyDelete