Tuesday, October 8, 2019

Gunung Talang I Love You 5.000 (Part 3)



Pulang

“Fi, sinikan tasmu biar kubawakan, tak usah sok-sok an jatuh terus. Bilang aja mau dibawakan tasnya,” kata Ikbhal setelah melihatku terpeleset untuk kesekian kalinya. “Kalau kubawakan tasnya jalannya agak cepat ya,” tambahnya.

Aku sebenarnya sangat senang Ikbhal menawarkan untuk membawakan tasku yang berat. Tapi mendengar kata-katanya yang terakhir membuatku mengurungkan diri menerima bantuannya. Aku sadar kondisiku, turun dengan cepat sama saja akan merepotkan orang lain. Aku takut kejadian lama terulang, dimana dengkulku kembali berulah. Menerima bantuannya berarti sama saja mengiyakan jika aku harus berjalan cepat, dan itu mustahil. Kalau kuterima, aku berpikir mereka akan menyalahkanku karena tetap lambat meskipun tanpa beban. Setidaknya tas ini masih bisa menjadi alasanku untuk berjalan lambat.

“Tak usahlah Bal, SB-ku aja dah cukup, tunggu aku kepeleset sekali lagi baru bawakan tasku,” jawabku beralasan.

Baca Juga: Gunung Talang I Love You 5.000 (Part 1)


Benar saja, tak beberapa lama setelah itu aku jatuh terduduk. Nyeri luar biasa kurasakan pada lututku, seperti keseleo tapi tidak jadi, tapi rasa yang diberikan membuatku ingin menangis. Kembali aku teringat rasa sakit ketika tukang urut mencoba membenarkan posisi dengkulku dalam sekali sentakan yang mampu membuatku melolong kesakitan.

Aku ingin menangis, tapi malu dan hanya kutahan, aku ingin berbicara tapi ketika suaraku keluar, aku takut suaraku tak lebih seperti suara gadis cengeng yang meminta perhatian. Aku terdiam tak melakukan apa-apa, rasa malu dan sakit bercampur menjadi satu. Sebuah kata keluar “Tunggu ya,” kataku dengan wajah memelas. Aku memberikan tas ransel yang kugendong kepada Ikbhal, mungkin dia kasihan melihatku. Meski aku juga kasihan melihat badannya yang kurus menggendong carrier, panci, dan tasku.

Kami kembali melanjutkan perjalanan, Sofi berjalan lebih dulu dan aku, tentu kau tau aku pasti di barisan belakang. Aku suka pendakian, tapi aku selalu sedih dan bertanya kepada diri sendiri. Kenapa orang-orang memaklumi lelah saat menanjak tapi menatap kasihan kepada orang yang lemah saat turun gunung. Benar-benar tidak adil, kenapa tidak dimaklumi kedua-duanya.

Pandanganku semakin kabur, bukan karena aku tak memakai kacamata. Tetapi karena ada air yang menghalangi pandangan, air yang ingin tumpah karena tak mampu lagi dibendung. Aku kembali terduduk, tak mampu berbicara. Ketika seseorang menanyakan keadaanku, aku terisak dan keluar air yang kutahan beberapa waktu lalu. Terisak, tersedu-sedu, hingga tersedak, aku yakin rombonganku menatapku ingin tahu, apa sebab aku menangis. Mengingat dan menuliskan hal ini pun benar-benar memalukan rasanya. Ingin ku buang bagian ini, tapi bagian ini pulak yang paling kuingat. Satu kata, memalukan.

Biasanya, jika aku menangis aku akan menangis di balik bantal dalam kesendirian, agar tidak ada satu orang pun yang tahu. Atau menangis di balik masker saat mengendarai sepeda motor ketika kehilangan ATM, kali ini aku menangis di hadapan orang banyak. Aku tak tahu pandangan mereka saat itu tentangku.

Dua kali aku hampir keseleo dan rasanya sangat sakit. Tetapi aku tetap bersyukur karena kejadian itu tidak benar-benar membuatku keseleo. Jika itu terjadi pasti akan sangat merepotkan orang lain, dan aku tidak ingin membayangkannya. Baru kusadari ternyata tapak sepatuku sudah lepas dua-duanya, pantas saja aku kerap terjatuh dan terpeleset.

Sedikit kejadian lucu usai aku terjatuh. Dika memberikan krim pereda nyeri. Sofi memaksaku menaikkan celana hingga ke dengkul. Bukannya tak mau, celanaku memang terbuat dari karet, tapi karena betisku yang besar susah untuk menaikkannya. Akhirnya Sofi menyerah dan mengoleskan krim tersebut di pergelangan kakiku. “Ya udah, oles di sini aja kali ya,” kata Sofi mengoleskan tanpa meminta persetujuanku.

Dalam hati aku sedikit tertawa, bagaimana mungkin jika yang bermasalah dengkul tapi yang dioles pergelangan kaki. Bukannya itu sama saja dengan menambal lambung perahu bocor tapi yang ditambal bukan lambungnya. Kubiarkan saja dia melakukan hal yang dia mau.

***
Kedai Pak Bambang

Hampir setengah lima sore kami tiba di Kedai Pak Bambang. Ikbhal menyarankan untuk berganti pakaian di kamar kecil yang di pintunya tertulis dilarang buang air besar. Beberapa di antara kami sempat mandi dan berganti pakaian sebelum akhirnya menuju mobil. Sofi memilih mandi dan berganti baju sebab dia membawa pakaian ganti, sedangkan aku enggan untuk mandi di tempat tersebut karena pakaian gantiku, ku tinggal di mobil sebelum mendaki kemarin.

Sembari menunggu Sofi aku duduk di salah satu kursi kayu panjang di kedai tersebut. Tiba-tiba rasa mulas menghampiriku. Sontak tanganku meraba perut yang kesakitan seolah-olah isi dalam perut meronta-ronta untuk dikeluarkan. Rasa itu semakin menjadi-jadi, tak tertahankan bak cinta pertama.

Aku segera pindah mencari tempat sepi agar jika sewaktu-waktu aku buang angin tanpa sengaja, tidak ada yang memperhatikan apalagi menertawakan. Mondar-mandir aku menunggu Sofi, dengan suara lirih aku memanggil nama Sofi yang berada di dalam bilik ganti. Andai tidak ada tulisan dilarang BAB, mungkin aku sudah berlari masuk ke dalam dan ikhlas membuang segalanya. Tapi tulisan itu benar-benar membuatku menderita.

Aku ingat, katanya jika sedang berada dalam situasi sepertiku, hendaknya memegang batu dan mengantonginya agar berkurang rasa ingin BAB. Tak pelak kulakukan hal tersebut. Menit pertama berhasil, beberapa saat kemudian rasa itu datang lagi. Menderita kawan, sangat menderita. Biasanya aku selalu bisa menahan rasa, tapi ini benar-benar tak tertanggungkan.

Sofi keluar dari kamar kecil dan memberiku saran gila yang tak ingin kulakukan dan malas kubayangkan apalagi kuceritakan. Intinya aku menolak mentah-mentah saran yang Sofi berikan tanpa merasa berdosa sedikitpun.

Jalan satu-satunya adalah turun menuju masjid tak jauh dari tempat kami parkirkan mobil. Tak mungkin untuk menunggu lebih lama, akhirnya aku dan Ikbhal turun duluan. Hamparan kebun teh tak lagi terasa indah seperti saat pertama aku melihatnya. Rasa mulas yang semakin manjadi-jadi membuatku harus berjalan cepat dan terburu-buru, sesekali perutku berbunyi dengan keras. Seperti kentut tapi tidak keluar angin. Angin berputar-putar seperti puting beliung dalam perutku.

Ikbhal berjalan duluan, tidak ada percakapan sepanjang jalan antara kami. Dia hanya memberi tahu jika Desa tak lagi jauh. “Nampak tower itu, nggak jauh kan?” ucapnya yang kusambut anggukan lemah.

Jika dilihat mata memang terasa dekat, tapi ketika dijalani sungguh kelokan-kelokan membuat tower itu semakin menjauh. Andai Ikbhal melihat wajahku saat itu, mungkin wajah aneh yang akan ia lihat. Orang cantik aja pasti jelek kalau nahan boker, apalagi aku.

Sesekali aku berhenti untuk menormalkan perutku, meski tidak banyak membuahkan hasil. Padahal sebelumnya aku berniat mengambil foto ketika pulang di kebun teh. Namun apa daya, rencana hanya rencana, yang terpenting bagaimana aku bisa sampai masjid dengan cepat.

Aku tuh pengen foto cantik di sini huhuhu
Situasi darurat membuat otakku berpikir lebih cepat dari pada biasanya. Lewat seorang bapak-bapak mengendarai motor sendirian. Segera ku angkat tanganku berusaha menghentikan laju motor bapak tersebut.

“Pak-pak, masjid masih jauh tak pak, perut saya sakit sekali pak, boleh nebeng saya sampai masjid pak,” ucapku dengan wajah memelas.

Entah kasihan entah tidak tega bapak itu akhirnya memberikan tumpangan. Senyumku sedikit lebar dan melambaikan tangan ketika motor yang membawaku melewati Ikbhal yang sedang berjalan kaki. “Aku duluan ya,” kataku menggerakkan bibir tanpa mengucapkan suara seperti memberi isyarat.

Sampai di persimpangan, arah masjid turun ke bawah, sedangkan tujuan bapak yang mengantarku naik ke atas. Awalnya ia akan menurunkanku di persimpangan tersebut, tapi ketika melihat wajahku si bapak  tak jadi menghentikan motornya dan mengantarku sampai depan masjid dengan selamat. Rasa terimakasih kuucapkan sebaik mungkin kepada si bapak yang berbaik hati memberikan tebengan pada orang yang tak dikenalnya.

Akhirnya hari itu berakhir dengan baik, meski sulit rasanya melewati hari yang berat. Usai melepaskan dan mengikhlaskan segalanya aku mengguyur seluruh tubuhku dengan air yang dingin. Brrrr... segar rasanya. Usai mandi aku memakai lagi pakaianku yang sudah kotor dan menuju ke mobil untuk berganti pakaian. Kulihat Ikbhal sudah tiba di sana. Ia sempat menggerutu dan menyesal mengantarkanku turun duluan karena pada akhirnya aku meninggalkannya. Percayalah Bal, situasi benar-benar darurat.

***
Tidak semuanya mandi di kedai Pak Bambang. Setelah semuanya tiba di mobil dan barang-barang dimasukkan ke dalamnya, kami bergegas menuju SPBU terdekat untuk membersihkan diri bagi yang belum mandi. Ikbhal urung mandi di masjid, katanya pas dia datang airnya tidak keluar. Aish beruntungnya aku.

Formasi saat pulang sama seperti saat pergi, bedanya barang-barang di bawah kakiku sudah tidak ada lagi. Sehingga kakiku bebas ingin kuarahkan kemana. Kami sempat makan malam mengisi perut sebelum pulang ke Pekanbaru. Untung saja makan dulu, jika tidak mungkin isi perutku keluar seperti saat pergi.

Aku duduk di antara Rahmad dan Sofi. Ketika masuk ke mobil, Sofi langsung bersandar ke pintu dan tewas seketika. Sementara Rahmad sibuk dengan dunianya sendiri. Dan aku? Aku sibuk mencari posisi terbaik untuk meletakkan kepala.

Duduk di tengah-tengah benar-benar azab rasanya, tidak ada sandaran untuk kepala. memaksakan bersandar membuatku menengadahkan kepala ke atas sehingga leher terasa tercekik. Tempat terbaik untuk bersandar tentu saja bahu sofi yang nyaman.

Jalan yang berkelok-kelok membuat badanku terbanting ke kanan dan ke kiri. Tak ada pilihan lain selain mengikuti irama jalan. Tentu saja aku sulit untuk memejamkan mata. Kasihan Rahmad dan Sofi, harus sering berbenturan dengan badanku.

Siapa bilang bahu itu keras dan tidak nyaman. Di mobil, bahu adalah tempat terbaik untuk bersandar. Bahu Sofi misalnya, tetapi lama tidur di posisi yang sama membuat pinggangku terasa sakit. Akhirnya aku merubah posisi ke arah Rahmad, meminjam sebentar sandaran kursi miliknya untuk beberapa saat. Hingga tiba-tiba kepalaku terjatuh dan mendapatkan sandaran yang lebih nyaman. Senyaman-nyamannya bahu Sofi, ternyata bahu Rahmad lebih nyaman karena lebih lebar.

Untuk Sofi aku meminta maaf membuat sakit bahumu saat di mobil. Untuk Rahmad aku meminta maaf karena ketidaksopananku meminjam bahumu untuk sandaran tanpa permisi. Karena kalian aku bisa memejamkan mata lebih baik hingga sampai di Pekanbaru.

Terimakasih buat Coar Adventure untuk petualangan yang luar biasa. Meski puncak tak dapat diraih, setidaknya bertambah persaudaraan dan silaturahmi. Jangan saling melupakan sebab kita pernah berada dalam satu jepretan yang sama.

Taken by Ikbhal
Ternyata, susah menjaga image ketika di gunung.
Talang, 27-29 September 2019. Annafimuja

Kenapa judulnya I Love You 5.000, karena tulisan ini kurang lebih dari part 1 sampai 3, memuat hingga lebih dari 5.862 kata.  

Tinggalkan komentar jika kamu membaca tulisan ini.


Previous Post
Next Post

4 comments: