Friday, January 5, 2018

Cerita Indah di Barat Sumatera: Kepada Alam Aku Jatuh Cinta



Mengintip Keseruan Camping di Pulau Sirandah

Ini bukanlah perjalananku ke Sumatera Barat (Sumbar) yang pertama kalinya. Kali ini aku pergi bersama Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Gagasan dalam rangka kunjungan kelembagaan di LPM Genta Universitas Andalas dan Suara Kampus UIN Imam Bonjol sekalian jalan-jalan di akhir kepengurusan 2017.

Rencana awal kami berangkat dari Pekanbaru pada Kamis pukul 20.00, seperti kebiasaan masyarakat Indonesia pada umumnya menganut filosofi karet maka kami benar-benar meninggalkan Pekanbaru setelah lewat tengah malam atau bisa dibilang hampir dini hari. Hal ini disebabkan mobil rental yang kami sewa masih dipakai oleh pemilik usaha rental sehingga dengan terpaksa kami harus menunggu sampai mobil tiba.

Kami dari Gagasan terdiri dari delapan orang, aku, Muti, Ika, Linda, Hanif, Adrial, Siyah, Andri dan Angel. Hanif mengajak tiga orang temannya untuk menemani perjalanan kami yaitu Sauky, Beri dan Ikbal. Awalnya Hanif mengatakan kalau tiga orang temannya ini dari jurusan Teknik Informatika, tapi tentu saja dia tidak dapat membohongiku, ketika melihat wajah tiga teman hanif aku langsung teringat pendakian ke Marapi tahun 2016 lalu. Aku yakin mereka adalah anak Teknik Elektro, bukan Informatika. Tapi sudahlah toh tidak ada pengaruhnya dengan kami.

Kuceritakan padamu kawan, kami merental dua mobil, satu berwarna putih dan satunya berwarna hitam. Yang pertama datang adalah mobil putih, dikendarai Hanif, sedangkan yang hitam belum tiba. Aku baru tahu kalau Hanif baru bisa nyetir mobil melihat dari cara dia memutar mobil dalam jangka waktu yang lama, sempat tercelutuk dari mulut Ika kalau ia tidak akan jadi ikut ke Sumbar kalau Hanif yang bawa mobil. Kami berebut untuk tidak semobil dengan Hanif karena kami juga masih sayang dengan nyawa.

Mabuk

Aku sangat menyukai perjalanan, meski entah mengapa perjalanan jarang menyukaiku. Aku sadar akan tubuhku yang tidak tahan berada dalam waktu lama di dalam mobil alias mabuk, tapi aku tak peduli. Menurutku kalau terasa mabuk ya tinggal dimuntahkan, apa susahnya? Perut kosong ya diisi lagi. Aku juga membawa stok kantong kresek dan banyak makanan jika sewaktu-waktu muntah maka aku tinggal mengisi perut agar ada yang dimuntahkan kalau mabuk lagi. Asal kau tahu kawan? Muntah tanpa ada yang bisa dikeluarkan itu rasanya menyakitkan.

Mungkin karena mengejar waktu, Beri yang mengemudi mobil yang aku tumpangi bersama Sauky, Muti, Adrial, Siyah dan Andri melaju dengan sangat kencang. Aku benar-benar heran, Beri mengemudi melebihi supir Medan, kurasa dia lebih cocok menjadi supir ambulan. Ketika menyetir ia mengobrol dengan santai bersama kami, bercerita kalau dia dulunya juga pemabuk. Katanya kalau mabuk naik mobil jangan pikirkan tentang mabuk, pikirkan hal lain. Dalam hati aku sempat mengumpat, bagaimana aku bisa  berpikir tentang hal lain kalau sedari tadi dia cerita tentang mabuk.

Jalan menuju Sumbar terkenal dengan kelokannya yang tajam, dengan laju mobil yang luar biasa kencang aku memuntahkan semua isi perutku. Berikutnya menyusul Siyah dan Adrial, aku sempat kasihan melihat Muti yang repot mengurus makhluk di sebelah kirinya yang mabuk.

LPM Genta

Kami tiba di Sumbar pagi sekitar setengah sepuluh, berhenti di sebuah masjid untuk membersihkan diri karena kami akan mengunjungi LPM Genta Universitas Andalas, kulihat Angel terhuyung-huyung membawa badan. Yup, ia dan Linda juga tak kalah mengerikan dibandingkan aku, hanya saja aku lebih sehat hahaha.

Setibanya di LPM Genta kami disambut dengan baik dan mengobrol santai bersama pengurus Genta, berkenalan dengan mereka, bercengkerama dan diakhiri dengan berfoto bersama. Mereka tidak fasih berbahasa Indonesia, maklum tinggal di mayoritas orang Minang pasti sama dengan tinggal di mayoritas orang Jawa, dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung, mereka cantik-cantik dan ganteng apalagi pimumnya wkwk. Sayangnya Ika dan Muti serta tiga makhluk TE tidak ikut bersama kami, aku tak tahu kemana Ika dan Muti pergi, yang kutahu Trio TE pasti tengah menggoda mahasiswi Universitas Andalas dengan Qiu Qiu andalan mereka.

Usai dari Genta kami bertolak ke rumah keluarga Beri, mereka sangat baik dan kami disambut dengan ramah, kami membuka bekal yang kami bawa dan makan bersama di sana, beristirahat cukup lama sebelum melanjutkan perjalanan ke Pulau. Rencananya kami akan nge camp di Pulau Sirandah setelah kunjungan kelembagaan, tapi sebelum itu kami akan mengunjungi LPM Suara Kampus Imam Bonjol terlebih dulu.

LPM Suara Kampus

Sebelum tiba di UIN Imam Bonjol aku sudah menghubungi rekanku di sana, kami kenal ketika Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL) di Lampung, Revo namanya. Karena dia orang minang kami memanggilnya Uda. Setelah sampai di UIN dan turun dari mobil Uda menyambutku dengan senyum lebarnya, tak lupa dia menanyakan oleh-oleh yang kubawa dari Pekanbaru, aku hanya menjawab tidak ada.

Sama halnya di LPM Genta, kami mengobrol, bertukar pengalaman, majalah dan bercengkerama serta diakhiri dengan foto bersama. Uda sempat mengajak kami untuk ikut diskusi bersama Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Padang, tapi karena dikejar waktu kami tidak bisa memenuhi ajakan mereka. Sangat disesalkan.

Uda berkali-kali membujukku untuk tinggal beberapa lama sebelum pergi, katanya masa iya jauh-jauh dari Pekanbaru ke sini cuma sebentar. Karena sudah janji tidak akan lama kami pun berpamitan, saat itu yang ikut ke Suara Kampus hanya aku, Hanif, Siyah, Adrial, Linda, Angel dan Andri, yang lainnya beristirahat di rumah keluarga Beri.

Satu hal yang sedikit ku sesalkan adalah tidak mengunjungi SKK Ganto Universitas Negeri Padang (UNP) padahal jaraknya tidak jauh, lagi karena waktu. Padahal ada satu teman PJTL ku dari Padang di sana, Uda Jimi. Akhirnya aku hanya bisa titip salam ke Uda Jimi melalui Uda Revo. Kalau ketemuan bertiga pasti lebih seru.

Go to Island

Menuju Pulau Sirandah melalui Desa Sungai Pisang, dari sini jalanan berkelok dan menurun memanjakan mata kami, sampai di dermaga kami menunggu sejenak sebelum pergi. Begitu kurasakan keramahan warga setempat, saat itu batrai smartphone ku habis, aku pergi ke salah satu warung di dekat dermaga, mengobrol sejenak dan meminta izin untuk men charge ponselku, tak disangka mereka mengiyakan dan menyuruhku masuk ke dalam rumah mereka, padahal aku baru pertama kali menginjakkan kaki di sini, mereka percaya dengan pendatang sepertiku. Setelah men charge ponsel aku bercengkerama dengan keluarga pemilik rumah. Salah satu dari mereka berkata kalau ada apa-apa sebut saja nama dia, dia juga bekerja di Pulau Sirandah, aku hanya mengangguk mengiyakan.

Hanif memanggil kami untuk segera bergegas menuju perahu. Beberapa menit kemudian kami bertolak menuju Sirandah, melewati Pulau Pamutusan yang mempesona, Pulau Sikuai, Pulau Ular dan akhirnya sampai di Dermaga Sirandah. Ribuan ikan-ikan berenang di kaki-kaki dermaga, aku membantu menaikkan beberapa barang, kemudian berfoto-foto seperti baru pertama kali melihat pantai. “Ikbal, galon ini berat, aku tidak kuat, biar kamu saja,” kataku pada Ikbal sambil turun dari perahu.

Hari itu hari kamis tidak banyak pengunjung yang datang ke Sirandah, mungkin kalau weekend pasti banyak yang datang. Pantai di sini sangat bersih dan putih pasirnya, ada banyak gazebo-gazebo dan penginapan untuk wisatawan, ada juga pohon yang menempel di batangnya cok sambung, katanya untuk men charge ponsel, listrik hanya ada saat malam hari. Di sini juga disediakan  kamar mandi umum yang semuanya tidak perlu membayar lagi, karena sudah termasuk biaya masuk ke pulau. Malamnya baru aku ketahui, selain bisa men charge di bawah pohon, bisa juga di cafĂ© dan warung-warung yang ada di Pulau Sirandah. Gratis.

Kami mendirikan tenda di area paling ujung, tiga buah tenda, dua untuk perempuan satu untuk laki-laki, padahal jumlah kami 50:50, tapi laki-laki selalu mengalah. Tapi tak apa itu sudah kewajiban mereka. Hahaha.

Malam itu ada fenomena unik yaitu blue moon, red moon dan full moon. Aku sangat bersyukur bisa menikmati semua itu di tempat seindah ini, duduk berdua dengan Muti di dermaga menikmati bulan merah sambil men charge ponsel. Setelah itu kami kembali ke tenda dan mengobrol ria di dekat perapian, kebanyakan sudah lelah karena perjalanan jauh Pekanbaru-Sumbar, tinggallah di dekat perapian aku, Ika, Linda dan Beri.

Tengah asik mengobrol mataku memandang laut di hadapan kami yang begitu luas, suasan malam di bawah sinar bulan purnama memudahkanku melihat segalanya, sore tadi air pasang dan tengah malam air surut sangat jauh. Aku berlari ke arah pantai, melihat secara dekat batu-batu karang yang bermunculan kala surut, Linda dan Ika mengikutiku disusul Beri.

Malam itu kami habiskan bercerita hal-hal apapun yang dapat dibicarakan sambil menyusuri tepi pantai sambil tertawa, mulai dari cerita asal mula nama Beri, hingga kisah mirisnya, cerita tentan Ika dan tragedi pencarian kepiting tengah malam buta.

Kami kembali ke tenda setelah puas mendapatkan tiga ekor kepiting berukuran sedang setelah menangkapnya dengan susah payah. Tiba di area perkemahan aku memutuskan tidak tidur dalam tenda karena terasa panas, ku ambil selimut dan tidur di atas spanduk besar yang digunakan sebagai alas. Kata orang aku tidur seperti jam, berputar dan ngorok. Untuk berputar aku percaya, tapi untuk ngorok itu adalah mustahil.

“Selamat Pagi,” itu kata pertama yang kudengar entah dari siapa disusul dengan celaan, betapa jeleknya wajahku ketika bangun tidur. Hari masih gelap sehingga aku tidak bisa melihat dengan jelas pemilik suara selamat pagi itu.

Pagi itu kami bercengkerama duduk di tepi pantai, ada yang tiduran di hammock, mereka menceritakanku ketika tidur malam tadi.

“Nafi, kau tidur kayak laki-laki, lasak, kayak jam, berputar-putar,”

“Biarin, kalau tak gitu nanti kalian dekat-dekat sama aku,” jawabku sekenanya.

“Dari pada tidur dengan kau mending aku tidur dengan matras,” celetuk Ikbal dengan muka dinginnya.

Belakangan dia pura-pura lupa telah membandingkan aku dengan matrasnya yang tak seberapa. Masa iya aku dibandingin dengan matras, dan dia lebih milih matras. Sebagai perempuan aku memikirkannya berulang-ulang kali.

Pulau Penyu

Puas bermain di sekitar tenda dan mengubur Muti menjadi duyung kami berjalan-jalan dan melihat sebuah gerbang menuju hutan denga tulisan Pulau Penyu. Rasa penasaran membawa kami menuju hutan, aku, Adrial, Angel, Andri dan Siyah. Aku berpikir maksud dari Pulau Penyu adalah tempat dimana kami bisa melihat penyu. Semakin jauh kami menyusuri hutan kami tak melihat satu ekorpun penyu melintas, nyamuknya sangat banyak, sempat terpikir olehku untuk kembali tapi rasa penasaranku lebih kuat dan membawa kakiku melangkah lebih jauh. Samar-samar terdengar deburan ombak, Pantai pikirku.

Benar saja ujung dari jalan ini adalah pantai, berjarak sekitar 50 meter dari tepi pantai ada sebuah pulau yang dilihat dari sudut manapun bentuknya seperti penyu. Lantas aku langsung berpikir kalau Pulau Penyu adalah pulau yang bentuknya sepertin penyu. Malamnya aku mendengar cerita dari penjaga warung kalau dulunya di Pulau Penyu memang sangat banyak penyu, karena kedatangan manusia mereka pun merasa terancam dan meninggalkan Pulau Penyu.

Usai puas bermain di Pulau Penyu kami kembali ke tenda untuk memberitahu yang lain agar datang ke Pulau Penyu. Akhirnya kami pergi lagi ke sana, jika tadi aku tidak sampai ke Pulau Penyu, maka kini telah sampai, air surut sehingga kami bisa melangkahkan kaki berjalan ke Pulau Penyu. Sangat indah dan menakjubkan.

Have Fun
Tujuan dari perjalanan ini adalah bersenang-senang, sorenya kami berenang ke sana kemari di Sirandah, menyelam dan melihat ikan-ikan wira-wiri di depan mata. Kapan lagi coba berenang dengan suasana alam, pasir putih, pulau yang hijau, air yang biru dan tidak ada di Pekanbaru.

Malamnya kami membakar jagung yang kami bawa dari Pekanbaru, dilanjutkan dengan bermain Werewolf sampai tengah malam. Permainan ini adalah permainan mempertahankan diri dengan berargumentasi, memutuskan siapa yang salah dan tidak dengan mudah mempercayai orang lain, dimana manusia bisa menjadi Tuhan, Dokter, atau pembunuh berupa serigala berwujud manusia. Tak terlukiskan dengan kata-kata kawan! Semua terasa mengesankan. Orang-orang baru yang kutemui, LPM Genta, Suara Kampus, keluarga Beri, warga Sungai Pisang, dan orang-orang di Sirandah, mereka benar-benar ramah.

Pulang

Pergi untuk kembali, itu sudah pasti, paginya kami berkemas dan bertolak kembali ke Sungai Pisang. Selamat tinggal Sirandah, batinku. Aku tak tahu kapan lagi bisa berada di sini, mungkin tidak akan pernah, mungkin suatu saat nanti tapi pasti tidak dengan orang yang sama. Aku sayang mereka.

Pulang kami singgah di Jam Gadang Bukittinggi, pusat oleh-oleh dari Sumbar dan ikon wisata Sumbar. Setelah itu kami benar-benar meninggalkan negeri Minang usai singgah sejenak di rumah keluarga Sauki. Hujan deras kala itu dan penat yang dirasakan supir kami membawa kami ke keluarga penuh kehangatan ini.

Kami baru kenal, Mama Sauki dan Neneknya menyambut dengan pelukan hangat, cipika cipiki yang membuatku terharu. Kami dibuatkan teh dan kopi serta bakwan yang besar-besar, istirahat tidur dan kembali melanjutkan perjalanan.

“Aku suka sama keluargamu Sauki, tapi aku tidak mau sama kau,” kataku kepada Sauki ketika di mobil.

“Aman tu, selalu ada tempat buat mu Nafi, kan bisa cuci piring, bersih-bersih…,” jawab Sauki sekenanya. Sayangnya dia tak melihatku melototinya dengan pandangan menusuk.

Di perjalanan pulang ada sebuah tragedi yang enggan kuceritakan di sini, biarlah ia lekat dalam ingatan tanpa harus kutuliskan. Di situ aku bertemu dengan keluarga baik hati yang rela menjemput kami di subuh buta ketika memasuki area Kampar. Keluarga Sella, anggota Gagasan. Kami diajak ke rumahnya beristirahat cuci muka dan tidur di atas kasur spring bed yang empuk, sarapan nasi goreng yang lezat ala mama Sella. Serta kebaikan-kebaikan mereka yang tak bisa aku tuliskan satu persatu.

Perjalanan ini mengajarkanku arti sebuah ketulusan, aku bertemu banyak orang baru dengan berbagai kebaikan yang mereka berikan kepada kami, membuatku belajar untuk melakukan hal yang sama, menolong ketika sedang kesulitan. Aku bahagia, aku tak pernah menyesal,jika waktu bisa diulang maka aku masih memilih pilihan yang sama.

Aku tak peduli seperti apa mereka membuli ku sebagai bahan candaan, ya karena candaan, aku tahu itu karena mereka sayang.
Previous Post
Next Post

0 komentar: