Wednesday, December 26, 2018

Jejak Tanah Semarang




“Nafi, ikutlah kau Sejuk di Makassar.”

“Iya Naf, bawakan kami kopi Toraja.”

Sofi dan Ade mengomporiku untuk mengikuti Workshop Jurnalisme Keberagaman yang diadakan oleh Serikat Jurnalisme Keberagaman (Sejuk). Mereka berdua memang sudah menjadi alumni workshop yang diadakan oleh Sejuk.

Awalnya aku sangat ingin ikut workshop di Makassar, tetapi setelah melihat jadwal di Makassar aku mengurungkan diri untuk mendaftar karena bertepatan dengan pernikahan kakakku yang pertama. Untung saja workshop jurnalisme keberagaman ini juga akan diadakan di Semarang yang tanggal keberangkatannya pas tanpa terbentur suatu apapun.

Persyaratan untuk bergabung dengan agenda yang diadakan tiga kali setahun ini adalah menulis artikel/esai/resensi/liputan yang berkaitan dengan isu-isu keberagaman, peserta juga harus anggota pers mahasiswa.

Awalnya aku bingung menulis tulisan untuk syarat mendaftar, pemberitaan terkait isu-isu keberagaman yang pernah kutulis juga minim. Awalnya aku berniat untuk menulis esai, membaca buku dan berselancar di internet untuk mendapatkan referensi dan inspirasi, di pertengahan tulisan jari-jariku berhenti menari. Ya aku ngeblenk.

Pusing ingin menuliskan apa, iseng-iseng aku mengambil sebuah buku yang tergeletak sekenanya di meja sekre, kulihat covernya ternyata sebuah novel. Ternyata buku tersebut milik Bagus dan langsung kupinjam. Pertama membaca aku berpikir akan segera bosan dan tertidur lelap dengan buku di samping kananku, tetapi ternyata tidak. Lembar demi lembar tak terasa hingga lembaran terakhir.

Beberapa hari kemudian, muncul ide yang tiba-tiba terlintas di kepalaku, Novel yang aku baca adalah karangan Okky Madasari yang berjudul Pasung Jiwa, berisi tentang dunia minoritas yang diambil dari sudut pandang mereka yang tak pernah dianggap, mereka yang keberadaannya dipandang seperti sampah.


Setelah menunggu sekian lama dengan harap-harap cemas setiap harinya akhirnya tiba hari pengumuman. Aku mendapatkan info dari Ade dan Sofi ditambahi ucapan selamat. Aku tersenyum sendiri tanpa mengatakan apapun, bagaimana tidak? Aku yang tinggal di Pulau Sumatra ini akhirnya bisa menjajakkan kaki di Tanah Jawa lagi.

25 November aku terbang ke Semarang. Pertama kalinya naik burung besi, aku banyak mendapatkan cie cie dari teman-temanku yang iri dengan keberuntunganku di penghujung masa kuliah.



Jajak Tanah Semarang

Aku tiba di Bandara Ahmad Yani Semarang setelah sebelumnya transit di Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Pergi bersama dengan Nia dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Aklamasi Universitas Islam Riau (UIR). Ia lebih berpengalaman bepergian menggunakan pesawat dari pada aku, sepanjang perjalanan dari Riau aku hanya mengikuti dan memperhatikan dia, karena pulangnya aku pasti akan sendiri.

Ku beritahu kawan, workshop yang kami ikuti ini memberikan fasilitas tiket berangkat dan pulang secara gratis, dan yang lebih asiknya peserta boleh memilih sendiri jadwal kepulangan, dengan syarat harus tiba di Semarang dan pulang dari Semarang. Nia memilih tanggal 1 September, sedangkan aku tanggal 5 September, aku berencana mengunjungi keluargaku di Jawa Timur setelah acara.

Aku beruntung duduk di dekat jendela pesawat, ketika hendak landing, sejauh mata memandang hanyalah laut, beberapa menit kemudian baru kulihat daratan hijau yang mempesona. Tidak ada yang menjemput kami di bandara, kami tiak berniat naik taksi karena kau pasti paham bagaimana kondisi keuangan mahasiswa, mau pesan ojek online pasti tidak mudah karena titik jemput dari bandara. Akhirnya kami memutuskan untuk naik bus transmetro, kalau di Semarang namanya Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang, hanya membayar Rp. 3.000,-.

Sebelum naik bus, kami berjumpa dengan peserta workshop asal Kalimantan, Adi namanya. Akhirnya kami naik BRT bersama-sama menuju LPM Justisia kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo yang menjadi panitia lokal workshop. Di dalam BRT beberapa orang memandangi kami yang membawa koper besar ketika naik bus, beberapa diantaranya bertanya tentang asal kami dan hendak pergi kemana, ada yang mengira kami pulang kampung ke Semarang.

BRT Trans Semarang sedikit berbeda dengan Transmetro Pekanbaru (TMP). Di BRT tempat duduk dibagi dua, bagian depan untuk laki-laki dan bagian belakang untuk perempuan, jadi laki-laki dan perempuan dipisah meski tidak ada sekatnya, meskipun tempat duduk perempuan masih banyak kosong dan tempat duduk laki-laki sudah penuh, para laki-laki sepertinya tidak akan duduk di tempat perempuan. Sangat berbeda dengan TMP, laki-laki perempuan sama saja.

Karena kami tidak pernah ke Semarang sebelumnya tentu saja tidak tahu bagaimana, dimana transit dan letak pasti kampus tujuan kami. Ketika kami mengatakan ke UIN Walisongo, kernetnya bertanya apakah di Kampus I atau II? Kami hanya terdiam sambil beradu pandang.

Setelah berganti bus kami tidak dapat tempat duduk dan harus berdiri, untung ada ibu-ibu baik hati yang menawarkan pangkuannya sebagai tempat koper kami. Bukan kami yang berdiri, aku mendapat tempat duduk, sedang Nia harus bersabar menahan goncangan karena berdiri.

Kembali kami ditanya mau ke Kampus I atau II, karena belum mendapat balasan dari tuan rumah, kami memutuskan untuk berhenti di halte Kampus II, BRT sangat penuh dan menyulitkan kami untuk keluar, belum sempat kami meraih pintu, BRT kembali berjalan. Adi sudah turun duluan dan tinggalah kami berdua menunggu berhenti di halte selanjutnya dan memesan Grab.

LPM Justisia

Kami tiba di LPM Justisia dan disambut hangat oleh krunya, sambil berbasa-basi kami berkenalan dan berbicang-bincang terkait kelembagaan di UIN Walisongo. Justisia sendiri adalah LPM di bawah naungan fakultas, tiap fakultas di UIN Walisongo memiliki LPM masing-masing, sangat berbeda dengan UIN Suska Riau dimana hanya ada dua, LPM Universitas dan satu LPM di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, aku sendiri dari LPM Gagasan di tingkat universitas.

Semakin bertambah kekagumanku pada LPM Justisia, produk-produk yang dihasilkannya sangat banyak, mulai dari Jurnal Hukum, Majalah, Lingkar Kajian Sastra (Liksa)  yang terbit setiap dua kali setahun hingga web. Banyak hal yang kupelajari dari Justisia dan orang-orangnya.

Setelah bosan bercengkrama aku diantar penginapan untuk perempuan milik Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA). Aku diantar oleh Mas Inung dari LPM Justisia Di sana aku berjumpa dengan peserta lain dari Medan, Nurul dan Widya, serta Jelita dari Lhoukseumawe, Aceh. Acara workshop di agendakan di Hotel Aston Semarang, tapi kami baru bisa chek in keesokan harinya sehingga malam itu kami diinapkan di eLSA.


Perpisahan Prematur

26 Oktober 2018, kami berangkat dari eLSA menggunakan Grab Car, aku semobil dengan Jelita dan Khusna. Tiba di Hotel Aston Semarang, kami disuguhi HokBen untuk makan siang. Kenyang makan siang di Lobby kami menyeret koper menuju Restaurant di Hotel yang terletak di lantai yang aku lupa keberapa.

Neneng, panitia yang meng-handle agenda Workshop Sejuk ini mengumpulkan kami semua dan mengatakan bahwa ada hal penting untuk dibicarakan. Dengan menghela napas disertai jeda yang cukup lama membuat kami penasaran dengan hal penting apa yang akan dibicarakan. Nurul berbisik kepadaku bahwa apapun itu adalah hal yang baik, perlu kau ketahui kawan, Nurul tiba lebih dulu dibandingkan dengan aku.

“Assalamualaikum Wr.Wb, perlu adek-adek semua ketahui bahwa  agenda Workshop Jurnalisme Keberagaman yang diadakan dari tanggal 26-29 Oktober, dengan berat hati dibatalkan,” begitulah kalimat pembuka yang langsung membuah hening satu ruangan.

Aku tak dapat berkata apa-apa, kembali para peserta berbisik-bisik dan bertanya apakah ini sebuah prank. Tak butuh waktu lama, Neneng menjelaskan alasan dibatalkannya workshop ini disertai penyesalan dan kata-kata maaf. Nurul pun sempat terkejut dengan apa yang disampaikan Neneng berbeda dengan apa yang dipikirkannya sebelumnya.

Kecewa sudah pasti iya, peserta datang jauh-jauh dari seluruh Nusantara, ketika tiba agenda dibatalkan, untung saja biaya perjalanan ini gratis. Kami baru mengenal sebagian dan besok kami sudah harus berpisah.

Panitia menjanjikan bahwa untuk peserta workshop mendatang tidak akan berubah, workshop akan tetap berjalan dengan tema yang sama dan peserta yang sama hanya saja waktunya yang berbeda. Sedikit banyak hal ini memberikan harapan untuk kami.

Hanya satu malam kami menginap di hotel mewah itu, malamnya kami diajak berjalan-jalan di Mall Semarang dan makan malam di Solaria, dilanjutkan dengan menikmati pemandangan malam di Simpang Lima, berfoto dan berkenalan sebelum akhirnya mengucapkan perpisahan.
Previous Post
Next Post

2 comments: