Tuesday, March 5, 2019

Walk Through Memories: Terjebak Tiga Hari di Pedalaman Rimbang Baling

Berfoto dari atas bukit menuju Koto Lamo


Cerita ini sebenarnya sudah lama, tepatnya tahun 2017 lalu di akhir tahun pada bulan Desember. Aku diajak  Sofi, temanku untuk survei sebuah acara TV Swasta, Si Bolang.

Lelah dengan urusan proposal  yang tak terlihat mana ujung mana pangkal, akhirnya aku mengaminkan ajakan Sofi untuk menjelajah Rimbang Baling. Kebetulan salah satu seniorku di Gagasan, Ika Piyasta adalah warga Desa Rimbang Baling.

Berangkat lah kami menuju Rimbang Baling menggunakan sepeda motor, berkali-kali Ika menanyakan apakah kami benar-benar sanggup menuju desanya. Dan berkali-kali pula kami meyakinkan Ika bahwa kami bisa dan sanggup menuju Desa Koto Lama.

“Kampung Kakak tu jauh Fi, di pedalaman, sanggup kalian bawa motor ke sana?” tanyanya.

Sampai di Desa Gema, kami harus menyeberang menggunakan perahu penyeberangan melewati Sungai Subayang yang memiliki lebar sekitar 30 meter. Air yang jernih berwarna kehijauan menyejukkan mata, tak lupa kami berfoto mengabadikan momen.

Kami berencana berkunjung ke Desa Koto Lama hanya untuk satu hari, tapi karena ban motor bocor sebelum mencapai Desa Gema, sehingga kami memutuskan, jika tidak bisa dalam satu hari kami pulang dan pergi alias PP, maka kami akan menambah satu malam menginap di Koto Lamo.

Perjalanan usai menyeberang bener-benar perjalanan yang menguras adrenalin. Jalanan menanjak dan mendaki. Bahkan aku bisa melihat hamparan pemandangan nun di kaki bukit sana. Katanya, jika subuh hari tempat ini akan penuh dengan awan. Akan terlihat seperti negeri di atas awan.

Terjawab sudah menapa Ika selalu menanyakan kesanggupan kami mencapai desanya. Jalan yang ditempuh bukanlah jalan yang mudah. Bahkan Ika menelepon keluarga di sana untuk menjemput kami dengan sepeda motor, membawakannya hingga selamat sampai di desa. Kami pergi berenam, Aku, Sofi, Fitri, Yuli, Ika dan Prengki adik Ika. Dua buah motor, setiap motor ditunggangi oleh dua orang, menjemput kami sebelum melewati tanjakan. Kami bertukar tempat, agar pemuda itu bisa menyetir dan membawa motor kami sampai ke tujuan.


Cuaca cerah ketika kami tiba di sana, melewati jembatan gantung yang mengangkangi Sungai Subayang. Tiba di rumah Ika, kami menuju sungai yang letaknya tak jauh di belakang rumah. Batu-batu sebesar mangga berserakan di tepian sungai. Terdapat dua buah WC yang terlihat baru, kendati demikian penduduk lebih suka membuang hajat di sungai dari pada menikmati fasilitas yang disediakan di dekat lapangan hijau.

Dari depan ke belakang, Nafi, Yuli, Fitri, Sofi

Usai melepas lelah kami menuju kediaman kepala desa untuk mengeksplor lebih jauh tentang desa dari kaca mata ahlinya. Namun, dia sedang berada di kampung seberang. Akhirnya kami memutuskan untuk menunda kepulangan ke Pekanbaru.

Cuaca berubah mendung kala sore menjela, hujan deras tak henti-henti memaksa kami untuk tinggal lebih lama dan bermalas-malasan di rumah Ika. Hujan tak kunjung reda hingga malam, lampu yang bertenaga air pun tak hidup dan berganti dengan lampu minyak bersumbu.

Sofi menggigil kala malam tiba, sebenarnya ia sudah terlihat tidak enak badan sebelum berangkat ke Koto Lamo. Namun ia memaksakan diri. Pagi datang dan tinggallah hujan rintik-rintik, air jernih di sungai berubah warna menjadi kecoklatan. Riak-riak kecil yang kurasakan semalam berubah menjadi arus deras yang membahayakan, air naik menutupi lapangan hijau di tepi sungai. Tak satu pun orang berani bermain di sungai lagi.

Kabar dari kampung seberang, sungai yang menghubungkan ke Desa Gema tidak dapat dilewati karena arus yang deras dan air yang meluap. Karena itulah mau tidak mau kami terperangkap di pedalaman Rimbang Baling, tak cukup sehari tapi tiga hari. Selama itu lah kami menggantungkan hidup dari kebaikan keluarga Ika.

Setelah hujan deras semalam, pagi menyapa melupakan kejadian yang membuat hati ketar-ketir. Kembali kami mengunjungi kepala desa dan bertemu dengannya, Sofi dan Fitri membahas seluk beluk desa, sedang aku memperhatikan dengan baik.

Yuli satu-satunya orang yang bahagia dengan terjebaknya kami di sini, ia berhasil menghindarkan diri dari perjodohan yang diatur keluarganya. Alasan yang logis dan tentunya termaafkan.

Pagi itu kami menyusuri tepian sungai yang airnya meluap deras, warga berkumpul di jembatan gantung melihat arus sungai yang menjadi-jadi. Banyak tempat indah di Koto Lamo yang membuatku tak bosan-bosan memandangnya, warga yang ramah, tempat yang indah, jauh dari hingar-bingar masalah dunia.

Satu-satunya akses yang dapat dilewati adalah perbukitan, karena melalui sungai pun hanya mengorbankan diri ke penguasa sungai. Bisa melewati perbukitan yang licin, belum tentu bisa menyeberang ke Desa Gema. Atas pertimbangan itu lah kami berlama-lama di Koto Lamo. Hidup bergantung orang, mandi bergantung alam, menjalani hari tanpa gawai dan sinyal.

Hanya handphone jadul yang bisa menerima sinyal, atau jika mau pergi menanjak ke bukit untuk mendapatkan sinyal H+. Tentu saja harus telkomsel, jangan harapakan provider lain bisa masuk sinyalnya. Seperti berharap ayam jantan untuk bertelur.

Hari ketiga, air sungai menunjukkan tanda-tanda berdamai. Sofi menunjukkan demamnya semakin parah, malam sebelumnya ia diberi air bodrex ditambah air sprit untuk meredakan demam. Ketika pagi, muncul bentol-bentol besar di wajahnya. Tak lain tak bukan itu adalah cacar. Entah dia dapat dari mana, yang jelas tak mungkin dari desa yang indah ini. Karena kau tau kan kawan, masa inkubasi cacar butuh waktu lebih dua minggu untuk benar-benar menjadi cacar.

Diiringi rintik hujan kami berangkat sebelum hujan semakin deras dan menaha kami lagi untuk menginap lebih lama. Kembali kami diantar pemuda yang sama hingga penyeberangan menuju Desa Gema.

Terimakasih kuucapkan untuk mereka yang begitu baik menampung kami, memberi makan kami, memberi atap yang nyaman untuk kami tinggali. Di sana kudapati ketenangan yang belum kudapatkan sebelumnya, meskipun aku tak terbiasa hidup tanpa sinyal.

Di perjalanan menuju arah Pekanbaru, kami diguyur hujan deras. Tetap terobos hingga ke Pekanbaru.

Dua minggu kemudian, Aku, Yuli, dan Fitri terkena cacar dalam waktu bersamaan. Tak sulit kami menerka, Sofi lah penyebabnya. Hanya Ika yang tidak terkena cacar, karena sudah pernah kena ketika kanak-kanak dulu.

Sebelum cacar menyerang. Dari kiri ke kanan, Fitri, Yuli, Nafi (aku)

Salam Rindu untuk Rimbang Baling.

Previous Post
Next Post

2 comments:

  1. Gile.. bodrex dicampur sprit.. mabok yang ada, serius tuh ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya seriusan, biar keluar semua cacar sama demamnya. idenya orang sana

      Delete