Tuesday, October 8, 2019

Gunung Talang I Love You 5.000 (Part 1)


Foto di Cadas Gunung Talang

Sudah lama sekali, aku tidak membuat tulisan perjalanan. Banyak kisah yang belum sempat kutuliskan. Dari pada menguap seperti dulu-dulu, alangkah baiknya aku menorehkannya selagi masih hangat dalam ingatan.

Aku teringat story yang dibuat temanku di WA dan aku ingin mengutipnya. “Aku tak pernah menulis tentang orang yang aku benci dalam setiap tulisanku, karena aku tak ingin ia hidup abadi. Biarlah kutuliskan cerita tentang orang yang kusayangi agar ia abadi dan lekat dalam ingatan” intinya gitu.

Mendaki gunung, kali ini adalah kali ke-empat aku menapakkan kakiku di dataran tinggi. Sebelumnya aku pernah mengunjungi Marapi pada 2016 lalu. Itu kali pertama aku jatuh cinta dengan udara di ketinggian.

Mengisi hari-hariku yang membosankan, terbersit pikiran di otak yang dipenuhi asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau. Ingin rasanya menghirup udara segar tanpa sesak dan batuk.

Akhirnya datang ajakan dari temanku Ikbhal untuk melakukan pendakian. Tanpa ba bi bu aku mengiyakan. Ku ajaklah Sofi, temanku mbolang sejak zaman dahulu kala. Untung dia mau ikut.

H-1 sebelum keberangkatan, tidak ada persiapan sama sekali, olahraga kecil-kecilan pun belum disiapkan. Padahal itu termasuk penting, kalau tidak, bisa-bisa turun gunung berjalan mengangkang seperti beberapa tahun silam saat naik gunung pertama kali.

Jangankan berolahraga, packing barang pun dua jam sebelum keberangkatan. Bagaimana tidak, hari itu entah mengapa pekerjaan baru siap pukul 18.00 WIB. Dari Sukajadi sampai Panam perlu waktu setengah jam lebih. Berbelanja sebentar ke Indomaret untuk beberapa keperluan, sampai juga aku di kosan pukul 19.00 WIB. Rencananya kami akan berangkat ke Sumatra Barat pukul 21.00 WIB.

Ketika sibuk mengepak barang, teringat jika aku belum mengambil sleeping bed (SB) di rumah temanku. Alamak, bukan dekat pulak, hampir setengah jam belum termasuk macet. Sembari melipat kain, aku terus berpikir dan membaca perlengkapan yang harus disiapkan sebelum naik gunung.

Persiapanku ketika hendan mendaki Gunung Talang di antaranya adalah:

2 buah kaus kaki tebal. Kalau aku pakai yang panjang untuk naik, soalnya di Gunung Talang kan basah, jadi meminimalisir digigit pacet. Bukan apa-apa, meski tidak sakit tapi pacet itu menggelikan. Kalau satunya dipakai pas di atas, jadi misalkan kaus yang pertama sudah busuk atau basah bisa ganti dengan yang bersih demi kenyamanan.

SB, untuk pendakian di Gunung Talang, menurutku jika tidak punya juga tidak apa-apa tidak membawanya. Tapi demi kenyamanan alangkah baiknya dibawa. Yang namanya gunung sudah pasti dingin. Tetapi, dinginnya Gunung Talang, tak sedingin Gunung Marapi, tak juga sedingin hatimu.

3 stel pakaian. Termasuk dengan yang dipakai. Berangkat Jumat malam dan turun hari Ahad siang. Stel pertama kupakai Jumat malam dan Sabtu saat naik. Ketika sampai cadas baju lumayan kotor dan ganti stel kedua, biar tidur nyaman meskipun tidak mandi. Baju ke-tiga aku pakai sesudah turun gunung dan pulang ke Pekanbaru. Karena aku berangkat naik mobil baju ketiga ku tinggal saja biar tidak memberatkan saat pendakian.

Mantel, pakai mantel tipis harga Rp 10 ribuan, biar kalau-kalau hujan datang baju aman dan barang bawaan tidak kebasahan.

Senter (Disarankan senter kepala). Dari cadas menuju puncak gunung biasanya pendakian dilakukan dinihari, cahaya bulan tidak akan banyak membantu sehingga diperlukan senter untuk menerangi hidupmu. Tak hanya itu, saat sesak pipis tengah malam senter juga akan sangat berguna untuk mencari semak-semak aman untuk membuang hajat.

Nah, selain itu jangan lupa membawa jaket tebal, sarung tangan, snack dan obat-obatan pribadi ya. Btw jangan lupa bawa botol air minum setidaknya untuk persiapan dirimu sendiri. Untuk di Gunung Talang sumber air sangat dekat sehingga tidak perlu khawatir kehabisan air.

***

Setelah selesai melipat semuanya, barulah aku sadar jika kau tidak punya sarung tangan dan kaus kaki. Dengan amat sangat terpaksa aku harus keluar membeli perlengkapan tersebut sambil mengambil SB di rumah temanku. Sialnya lagi, lampu motorku mati. Sebenarnya tidak masalah kalau aku melewati jalan besar dan ramai lalu lintas. Masalahnya jalur yang akan kulewati menuju rumah temanku masuk gang dan sepi. Di sekitaran Jalan Lobak kalau tidak salah.

Akhirnya aku sampai ke kosan dengan selamat setelah meminjam motor milik temanku. Semua sudah siap sedia tinggal memasukkannya dalam ransel. Menggendut ranselku dibuatnya. Hahaha.

Aku belum makan malam dan tidak terpikir untuk makan malam terlebih dulu, ponselku berdering dan Ikbhal menelepon, mengatakan jika ia hendak on the way. Buru-buru aku mandi secepat kilat usai mematikan sambungan telepon.

Akhirnya kami berangkat menuju Sumbar sekitar pukul 21.30 WIB. Aku orang terakhir yang dijemput, di dalam mobil sudah ada tujuh orang, dua di antaranya Ikbhal dan Sofi, selebihnya aku tidak mengenal sama sekali.

Masuk ke dalam mobil, Sofi sudah tertidur pulas barisan ke dua, aku duduk di tengah dan satu orang lagi duduk di sebelahku. Tiga orang duduk di bagian paling belakang dan dua lagi di depan bertugas sebagai sopir.

Kuhabiskan malam itu dengan memeluk tas yang entah milik siapa. Kakiku tidak dapat bergerak bebas lantaran tas-tas yang berada di bagian bawah kaki. Sesekali aku terbangun ketika mobil berkelok tajam atau saat perut mual dan terasa ingin muntah. Bukan terasa, tapi aku memang benar-benar muntah. Ku hitung tiga kali aku mengeluarkan kantung kresek andalanku saat perjalanan. Menyebalkan, memalukan juga.

Di antara tidur malam yang tidak nyenyak. Mataku tertidur, tetapi telingaku mendengar suara-suara samar. Yap, tiga orang pria sedang bergosip ria, Rahmad yang duduk di sebelahku, Dika yang sedang menyetir dan Ikbhal yang menunggu giliran menyetir. Tak apalah, biar menjadi dongeng pengantar tidurku. Kapan lagi coba dengar cowok-cowok menggosipkan cewek. Hahaha

***
Pagiku terbangun ketika mobil berhenti saat azan subuh berkumandang, di sebuah masjid yang aku tidak tahu namanya. Gerimis hujan mengguyur tanah minang saat itu. Usai salat subuh perjalanan kembali dilanjutkan menuju Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok.

Lega-kelegaan hangat saat roda-roda mobil kembali berhenti di perkampungan di bawah kaki Gunung Talang yang juga merupakan pos atau rambu (R). Aku sudah hampir muntah lagi untuk keempat kalinya andai saja mobil tak berhenti. Ku hirup udara dalam-dalam, udara segar, bersih tanpa asap dan jauh dari kebisingan kota.

Suasana pagi di kaki Gunung Talang

Sebelum berangkat, kami sarapan terlebih dahulu, satu kantong kresek berisi banyak gorengan sebesar kepalan tangan. Tak cukup sampai di situ, Ikbhal, Dika dan Rahmad memasak nasi goreng tak jauh dari dinding rumah, tepat di bawah jendela. Sempat aku berpikir bagaimana jika empunya rumah membuka jendela dan memergoki tiga anak manusia sedang memasak ria di bawah jendelanya. Untung saja itu hanya terjadi di pikiran liarku.

Pagi itu entah pergi kemana nafsu makanku, meski perut telah kosong karena habis akibat muntah semalaman, aku tidak merasa lapar. Kendati demikian aku tetap mencoba memasukkan satu gorengan ke dalam mulut sebagai pengganjal dan tenaga untuk mendaki nanti. Satu piring penuh nasi goreng tak dapat kuhabiskan. Seekor anjing memandangku dengan mata sendunya, kulemparkan sepotong gorengan milikku ke arahnya dan ia mengambil potongan itu dengan semangat.

Sebelum berangkat, kami saling berkenalan. Ada Said yang masih semester tiga, kemudian Bang Jos dan Bang Resky.

Ikbhal menuliskan nama-nama kami di pos pendaftaran. Pos di sini disebut dengan rambu (R). dari sini adalahlangkah pertama para pendaki hingga melewati 54 rambu berwarna merah sepanjang perjalanan menuju puncak.

Aku membaca berkali-kali tapi sepertinya ia lupa menuliskan namaku. Anehnya saat kuhitung di dalam hati jumlahnya pas. Delapan orang. Kembali kuintip buku bertuliskan nama kami tersebut. Oh, rupanya Ikbhal salah menuliskan namaku. Pantas saja aku tak menemukannya. Namaku Annafi, dia menuliskannya Hanafy. Aish, biar sajalah tak perlu diributkan, masih terlalu pagi untuk mencari keributan.

***

Hamparan kebun teh seluas mata memandang, tanjakan dan turunan tak lagi terasa melihat surga yang ditaburkan Tuhan sekenanya di tanah Sumbar. Segera kuambil gawai, cekrek-cekrek foto melupakan letih yang dengkul rasakan sedari tadi. Sofi dan Said tak ketinggalan mengabadikan momen yang baru pertama dirasakan ini, hahaha aku juga demikian.

Melewati hamparan kebun teh dalam pendakian Gunung Talang

Kami mengambil air di kedai Pak Bambang untuk persediaan selama perjalanan. Saat kami tiba, kedai ini masih tutup, di sebelah kiri kedai terdapat aliran air yang mengalir deras dan dipasangi bambu sehingga memudahkan untuk memasukkannya ke dalam botol. Beberapa meter dari aliran air tersebut terdapat kamar kecil bertuliskan dilarang BAB di sini. Kamar kecil itu memang hanya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian, tidak termasuk buang air besar (BAB).

Kami mendaki melalui Jalur Aia Batumbuak. Katanya perlu waktu sekitar 4-5 jam untuk sampai cadas, bukan waktu yang lama, bukan pula waktu yang sebentar.

Jalanan yang semula datar berubah menjadi tanjakan, sedikit turunan, dan tak jarang kami harus memanjat dan berpegangan pada akar-akar pohon yang berdiri tegak di tengah hutan yang dingin. Sesekali kami berhenti untuk menyesuakan napas yang ngos-ngosan tidak karuan dan meminum air mineral menghindari dehidrasi.

Pendakian Gunung Talang

Aku sedikit menyesalkan, ketika perjalanan terlalu banyak minum air putih. Memang segar dan melepaskan dahaga, tapi terlalu banyak minum air putih membuatku lebih sering terasa sesak untuk buang air kecil. Tentu semua orang tahu, jika di Gunung Talang tidak ada WC ataupun toilet.

Sepanjang berjalanan sesekali Sofi bernyanyi gembira, kemudian suaranya menghilang berganti desahan napas Senin-Kamis. Beristirahat sejenak untuk mengembalikan stamina. Ketika angin berhembus rasa dingin menjalari tubuh dan membuatku sedikit menggigil. Tak jarang angin yang menerpa pepohonan menerbangkan pacet yang kemudian menghisap darah segar kami.

Aku tak mengkhawatirkan diri sendiri, sebab aku merasa cukup terlindungi dengan pakaian kaus lengan panjang dan celana yang menutupi seluruh kakiku, serta kaus kaki di atas mata kaki. Aku yakin pacet enggan naik mencari darah segar.

Tetapi tidak halnya dengan Rahmad dan Dika. Mereka berdua memakai celana pendek sedikit di atas lutut. Aku hanya berpikir itu mungkin gaya keren ala pendaki yang sudah berkali-kali menjajaki Gunung Talang. Hanya saja aku sedikit khawatir kalau-kalau terjatuh, apa mereka tidak sayang dengan kulit putih mulus mereka. Belum lagi terpaan angin dingin kala beristirahat atau gigitan pacet yang dengan mudahnya mendapatkan sasaran empuk.

Benar saja, setelah aku memikirkan hal itu, kulihat seekor pacet menggeranyangi Rahmad. Sementara Ikbhal sibuk mencari pacet di punggung Dika. Aku tergelak dalam hati, rasakan. Hahaha.
Belakangan, aku mendengar Sofi bergumam dimana hanya aku yang mendengarkannya saat itu. Kata-katanya membuatku terbahak-bahak dan memberikui bahan candaan untuk menggoda Sofi setiap kali bertemu.

Aish, abang-abang ini pakai celana pendek pula, bikin nafsu orang aja,” gumam Sofi.

Rahmad dan Dika

Rupanya karma tak jauh menimpa diriku, beberapa saat kemudian setelah berjalan cukup jauh. Aku menyadari darah segar mengalir tepat di atas kaus kaki sebelah kanan yang kupakai. Terlihat bekas gigitan pacet masih mengeluarkan darah segar. Hanya saja aku tidak melihat pelaku yang mengakibatkan luka yang tak terasa tersebut. Aku yakin dia sedang bersendawa kekenyangan menikmati darahku. Dasar pacet sialan.

Aku bersyukur, pacet itu tidak berjalan jauh menggeranyangi badanku hingga sampai atas. Tak bisa aku bayangkan jika itu benar-benar terjadi. Bukan takut, bukan jijik, hanya sedikit geli melihat makhluk berlendir itu berjalan. Ah sudahlah, kau tak akan paham kawan.

Di sepanjang jalan, ketika bertemu dengan pendaki lain sapaan hangat adalah Bapak untuk laki-laki dan Ibu untuk perempuan. Jangan merasa tua dipanggil demikian, sebab itu lah adatnya, Sama dengan di Gunung Marapi. Mungkin juga sama di gunung-gunung lainnya di tanah Minang ini. Kalau di Jawa setara dengan panggilan Mas dan Mbak.

Satu hal yang aku sukai jika mendaki gunung adalah keramahan pendakinya, semuanya seolah-olah telah saling mengenal. Berbeda saat aku di Gunung Bromo. Barangkali karena Gunung Bromo termasuk tempat wisata atau apa namanya ya, susah mendeskripsikan. Pernah suatu ketika aku bercerita dengan temanku jika pernah mendaki Bromo. Dia hanya mengatakan jika ke Bromo tidak termasuk mendaki gunung. Entahlah, aku iyakan saja saat itu.

Selain Sofi yang suka merekam momen, Said si anggota termuda di antara kami juga acapkali merekam diri menggunakan gawainya. Ia bertutur, jika ia adalah seorang Youtuber, kontennya berisi perjalanan dia. Yang membedakan, ia mengisi konten dengan bahasa inggris. Cukup menarik menurutku, bisa dijadikan tempat untuk praktek ngomong bahasa inggris.

Sementara itu, Bang Jos dan Bang Rezky sepertinya hanya ingin menikmati perjalanan dengan damai. Kalau dilihat dari penampilan, sepertinya Bang Jos memang hobi mendaki, begitu juka Bang Rezky. Kalau Bang Rezky dia lebih suka meminjamkan gawainya untuk mengambil gambar. Bisa dikatakan rata-rata semua potret kami berdelapan ada dalam genggaman Bang Rezky.

Sepanjang perjalanan kami melihat asmaul husna atau 99 nama Allah. Semakin tinggi urutannya, katanya semakin dekat pula menuju puncak. Sofi tak henti-hentinya menghitung dengan telaten angka-angka asmaul husna sambil menyebut nama Allah. Mulia sekali orang yang membuatnya.

Sejujurnya aku tidak melihat asmaul husna hingga ke angka 99. Ini karena kami tidak berhail mencapai puncak.

Sekitar pukul 12 siang, ntah lewat atau kurang aku lupa. Kami beristirahat di sebuah tempat yang cukup datar dan luas. Namanya titik 28. Di situ, kami kembali membuka kisah lama, eh bukan. Bekal maksudnya, seperti roti dan gorengan yang kami beli tadi pagi. Cukup lama kami beristirahat, sebab angin yang berhembus membuat kami mengigil. Aku menyelipkan tangan di bawah lutut. Di situlah kehangatan berada. Ku beritahu kepadamu kawan, kalau kamu kedinginan letakkan tanganmu di bawah lutut, di perut atau di leher. Tempat-tempat tersebut cukup hangat untuk menormalkan suhu dingin.

Pepohonan menyerupai pandan-pandan raksasa tapi berduri terhampar luas di depan kami saat kembali melanjutkan perjalanan. Aku merasa seperti berada di zaman purba dalam serial animasi fim yang aku lupa judulnya. Di tempat itu pepohonan mulai jarang dan kami bisa melihat langit dengan luas. Hanya saja kabut tebal menerpa kami beberapa saat kemudian. Jalanan yang kami lalui semakin menanjak dan batu-batu besar bermunculan. Aku melihat sebuah batu, dengan mata berbinar aku berjalan menuju batu tersebut dan duduk di atasnya, layaknya duduk di atas sofa yang empuk. Nikmat tak tergantikan. Teh botol sosro.

Ikbhal, Said dan Bang Jos berjalan terlebih dahulu, kemudian aku Sofi dan Bang Rezky berada setelah mereka, sementara itu, Rahmad dan Dika masih berjalan di bawah atau di belakang kami, belum terlihat batang hidungnya.

Menunggu hanyalah alasan, sebenarnya aku juga kelelahan. Dengan dalih menunggu Rahmad dan Dika, aku bersama Sofi dan Bang Rezky bercengkerama sambil menikmati makanan, duduk di sebuah batu dengan mulut penuh oleh roti. Bang Rezky juga tidak mau kalah, ia mengeluarkan beberapa cemilannya seperti makanan ringan dan coklat. Tentu saja dengan senang hati kami menerimanya.

Tak lama kemudian muncullah Rahmad dan Dika, bukannya bergegas mereka berdua terduduk tak jauh di bawah kami. Aku semakin senang karena menambah waktu istirahat. Kutawarkan pada mereka makanan tapi mereka menolak. Mungkin terlalu letih untuk berjalan sedikit lebih ke atas dan duduk bersama kami. Pasalnnya mereka berdua membawa tas carrier yang cukup besar dan tidak kutahu isinya apa.

Akhirnya kami berbagi makanan, Dika dan Rahmad yang enggan beranjak dari tempat istirahat, serta aku yang malas untuk sedikit turun ke bawah, membuat beberapa makanan terbang menuju Dika dan Rahmad.

Setelah itu, kami kembali melanjutkan perjalanan. Kupikir Ikbhal telah sampai jauh ke atas, rupanya dia masih menunggu. Sedikit menyesal aku tak berbagi makanan dengan dia, tapi sudahlah. Toh dia juga tidak tahu.

Previous Post
Next Post

2 comments:

  1. Mendaki gunung memang memberikan pengalaman tersendiri ya :D

    Regards,
    Dee Rahma

    ReplyDelete