Friday, February 24, 2017

SISI KELAM SURGA DI UJUNG SUMATRA

pulau tegal pulau tegal

Birunya air laut, luasnya hamparan pasir putih, deburan ombak beriak-riak manja di kaki-kaki manusia. Sebuah surga nun di ujung Sumatra.

Sebuh bangunan berbentuk persegi panjang  berukuran 6 x 3 meter, dengan warna putih kusam dipadu dengan cat merah jambu yang sudah memudar. Siapapun tak akan tahu ketika menapakkan kaki di Pulau Tegal, jika bangunan itu adalah sebuah sekolah dasar. Sebuah sekolah yang hanya memiliki dua kelas, kelas satu dan kelas dua.

img_6680

Sekolah yang telah berdiri sejak 15 tahun yang silam, timbul tenggalam diantara perubahan zaman, dihidupkan kembali Juli 2016 lalu, tanpa adanya tenaga pengajar tamatan Sekolah Tinggi, sekolah ini tetap mencoba berdiri tegar.

Bisa dibayangkan, seperti apa kondisi waktu belajar setiap hari, hanya ada satu orang guru tamatan SD, hanya berbekal idealisme sebagai pengajar, tanpa imbalan yang memadai sebagai pemberi ilmu bagi masa depan muridnya.

Pria paruh baya, bertubuh kurus dengan kulit kecoklatan  tengah mencoret-coret papan berwarna hitam dengan kapur putih di tangannya. Dihadapannya sepuluh anak-anak tampak serius memperhatikannya. Ya dialah satu-satunya pengajar di SD ini. Pria tamatan SD yang mengabdikan hidupnya untuk mengajar di Pulau kampung halamannya.

Basri namanya, pria berusia 51 tahun ini bercerita meninggalkan desa untuk mencari penghasilan yang layak bagi keluarganya, Basri juga berhenti mengajar selama tujuh tahun, tetapi Juli 2016 ia kembali ke Pulau Tegal untuk mengajar. Meskipun hanya berstatus tamatan SD, itu tak menyurutkan niatnya untuk mengajar. “Saya tidak punya pendidikan yang tinggi, tapi saya diminta sama warga buat ngajar anak-anak,” ucapnya.

basri
Senasib dengan gurunya, siswa-siswa yang hanya terdiri dari 18 orang ini, harus menerima kenyataan dan bersyukur bisa sekolah walaupun hanya sampai kelas dua. Untuk melanjutkan ke kelas tiga, siswa-siswa di sini harus menyeberang ke Pulau lain, sehingga kebanyakan dari mereka lebih memilih bekerja membantu orang tua ketika tamat kelas dua.

Ekonomi, uang, lagi-lagi menjadi penghambat majunya pendidikan di negeri kaya raya ini. Jika ingin melanjutkan sekolah ke kelas tiga saja anak-anak ini harus menyeberang ke Desa Sidodadi. Memang tak butuh waktu lama untuk sampai ke seberang, tetapi butuh kocek tebal untuk menyewa perahu, bisa sampai 200 ribu rupiah dalam satu kali sewa perahu yang memuat 11 orang. Tak hanya itu, gelombang lautan pun acapkali membuat pakaian basah lebih dulu sebelum sampai ke seberang meskipun hanya 15 menit.

Sharma, sosok wanita paruh baya yang berjualan jajanan kecil di dekat sekolah mengaku bersyukur, anaknya bisa sekolah walaupun tidak tamat SD. “Yang penting bisa baca tulis, kalau mau lanjut ya lanjut, tapi ya mau bagaimana lagi,” tuturnya.

Anak-anak di sini memakai pakaian keseharian ketika sekolah, beralaskan sendal atau bahkan tanpa memakai sendal, hanya satu atau dua diantara mereka yang memaki seragam merah putih dan memakai sepatu.

lampung
Lebih dari itu, bukan lagi hal aneh jika melihat anak berusia 12 tahun masih duduk di kelas dua. Adalah hal lumrah, jika seorang kakak yang berusia 12 tahun duduk satu kelas dengan adiknya yang berusia 10 tahun. Bisa dikatakan, mampu banca tulis disini adalah suatu hal yang istimewa dan patut disyukuri.

Lampung, kota tapis bersemi ini dikaruniai banyak keindahan alam yang menjadi kekuatan untuk memajukan perekonomian masyarakat Lampung.

Pulau Tegal salah satu Pulau di tanah Lampung dengan luas + 98 hektarare, dihuni oleh 36 kepala keluarga dengan jumlah sekitar 100 penduduk ini, mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan dan juga sebagai petani sayuran.

Suatu area pesisir pantai dengan deburan ombak yang tenang. Air laut yang jernih diwarnai dengan hamparan pasir putih. Serta panorama bahari bawah laut yang masih terjaga, dan mampu membias mata orang yang memandang dengan  terumbu karangnya yang tersembunyi. Namun sayang, surga dunia di ujung Sumatra ini tak mampu mensejahterakan penghuninya.

Bak dua sisi mata uang logam, ironis memang, tapi itulah kenyataan. Sebuah potret buram pendidikan di Indonesia yang tersampul dengan cover  yang mempesona.
Previous Post
Next Post

0 komentar: