Tuesday, January 29, 2019

Resensi Bilangan Fu: Spiritiualisme Kritis, Agama dan Tradisi



Judul        : Bilangan Fu
Penulis     : Ayu Utami
Halaman  : 573 hlm
Penerbit   : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta
Cetakan   : Juni 2018

“Yuda, si Iblis, seorang pemanjat tebing dan petaruh yang melecehkan nilai-nilai masyarakat. Parang Jati, si Malaikat, pemuda berjari 12 yang dibesarkan ayah angkatnya untuk menanggung duka dunia.”

Novel Bilangan Fu, mengisahkan tentang spiritualisme kritis. Berangkat dari seorang tokoh bernama Yuda, seorang pemanjat tebing yang juga seorang mahasiswa. Yuda diceritakan sebagai sosok yang menjunjung tinggi jiwa satria. Juga, ia sangat gemar bertaruh.

Dalam memanjat tebing, Yuda dan rekan-rekannya adalah pemanjat tebing artifisial atau dirty climbing. Yang memanjat menggunakan pasak, palu dan bor dalam prosesnya. Kemudian semua berubah setelah Yuda bertemu dengan mahasiswa geologi bernama Parang Jati. Dalam suatu taruhan, Yuda mengalami kekalahan sehingga mengharuskannya untuk berpindah ‘agama’ dari dirty climbing menjadi clean climbing (metode panjat tebing yang tak merusak).

Yuda sangat rasional, modern serta tidak mempercayai takhayul. Berbeda dengan Parang Jati yang menghargai alam dan percaya bahwa setiap tempat pasti ada penunggunya.

Setting tebing dalam novel ini berada di perbukitan gamping, Tebing Watugunung. Di mana penduduk sekitar Watugunung sangat mempercayai hal-hal yang tidak bisa dipikirkan secara rasional. Jati yang tumbuh besar di daerah tersebut tentu saja memiliki pemikiran dan kebajikan yang berbeda dibandingkan dengan Yuda.

Sebelum bertemu Jati, Yuda mengalami kejadian ganjil ketika bermalam di Watugunung. Dalam mimpinya ia didatangi oleh penunggu tebing. Yuda memberi nama Sebul, makhluk berkaki serigala, berbadan wanita tapi berkelamin jantan. Makhluk itu membisikkan Bilangan Fu kepada Yuda. Tak hanya sekali makhluk itu datang, tapi berkali-kali. Hal ini menimbulkan  pertanyaan besar bagi Yuda tentang Bilangan Fu.

Ayu Utami, penulis novel ini mengisahkan jika Jati selain mengedepankan nilai-nilai spiritualisme kritis, ia juga memperjuangkan kelestarian lingkungan. Ia menentang keras upaya penambangan batu secara besar-besaran yang dilakukan perusahaan yang mengancam lingkungannya.

Nilai-nilai agama sangat sarat dalam novel ini, di mana monoteisme dianggap bertentangan dengan tradisi-tradisi masyarakat Watugunung.  Sesajen atau persembahan dianggap sesuatu yang syirik menyekutukan Tuhan, pelakunya dianggap orang kafir dan tidak lagi beriman kepada Yang Maha Esa. Selain itu novel ini juga mengkritik militerisme dan modernisme.

Tapi Jati berpikir dari sudut pandang yang berbeda, jika manusia yang berpikir modern membayar bea cukai kepada penguasa. Maka menurut Jati tidak ada salahnya juga jika masyarakat membayar Bea Cukai dalam bahasa tradisi disebut sesajen kepada alam.

Jati menganggap kepercayaan tersebut adalah wujud manusia dalam menghargai alam, tidak merusak dan menjaga kelestariannya. Dengan adanya kepercayaan  seperti penunggu atau bahkan Nyai Rara Kidul akan membuat manusia tidak semena-mena terhadap alam.

Lalu apa sebenarnya Bilangan Fu yang membuat hati Yuda bergejolak? Spiritualisme kritis apa yang dimaksud oleh Jati? Benarkah memberikan sesajen adalah perbuatan syirik? Lalu apakah makhluk-makhluk penguasa tak kasat mata itu benar adanya?

Dalam menceritakan spiritualisme kritis, Ayu banyak memberikan ulasan-ulasan yang menyinggung sejarah raja-raja tanah Jawa. Pembaca bisa menilik kembali kisah-kisah dalam Babat Tanah Jawi melalui Novel Bilangan Fu. Ayu mengangkat wacana spiritual keagamaan, kebatinan, maupun mistik ke dalam tulisannya yang menghormati sekaligus bersikap  kritis. Ayu mengangkat wacana keberimanan tanpa terjebak dalam dakwah hitam dan putih.

Tulisan-tulisan Ayu sarat akan deskripsi.  Baik itu tentang panjat tebing, bentang alam, legenda zaman dahulu, bahkan sejarah Indonesia di masa Soeharto dan beberapa presiden setelahnya. Dari deskripsi tersebut Ayu menyuguhkan banyak kosa kata baru dan mengingatkan kembali kepada pembaca akan sejarah dan legenda yang ada di Nusantara.

Hanya saja, dalam penulisannya Ayu menjelaskan suatu deskripsi secara penuh, sehingga tokoh utama kehilangan eksistensinya dalam novel ini. Jika tidak berhati-hati, pembaca akan mudah melupakan keberadaan tokoh-tokoh utama ketika Ayu mulai mengisahkan Babad Tanah Jawi, legenda, dan kisah sejarah lainnya.

Ayu memberikan banyak kosa kata baru kepada pembaca, tetapi banyak kata yang tidak familiar sehingga sulit untuk memahami maksud dari sebuah kalimat. Seperti kesunyatan, ruwat, pauh dilayang, selibat, padma, sadukaling dan banyak lainnya.

Novel ini adalah manifesto Ayu Utama tentang sebuah sikap yang dianggap perlu diutamakan di zaman ini: sikap religius ataupun spiritual, yang kritis.
Previous Post
Next Post

0 komentar: