Tuesday, October 8, 2019

Gunung Talang I Love You 5.000 (Part 2)


Putih, jarak pandang hanya sekitar 10 meter, tak kulihat apapun selain rerumputan. Yang aku tahu dibalik kabut tebal yang menghalangi pandangan adalah sebuah hamparan tanah lapang yang luas, selain itu tidak ada apa pun yang bisa aku bayangkan sebagai orang yang kali pertama menjajaki Gunung Talang.

Kabut semua

Aku tak berpikir ini adalah puncak dan benar saja ternyata ini adalah cadas. Lalu dimana puncaknya. Aku bertanya-tanya hingga akhirnya seseroang mengatakan dan menunjuk arah di depanku. “Di balik kabut itu ada puncaknya, kita masih di cadas,” katanya.

Angin kencang membawa dingin berhembus, seketika terlihat puncak Gunung Talang yang gagah dan berdiri dengan angkuhnya, saat itu tidak terlihat satu manusia pun menuju puncak. Hanya ada beberapa tenda tak jauh dari tempat kami mendirikan tenda.


Gunung Talang memiliki sumber air berlimpah bahkan hingga cadasnya. Pantas saja, Ikbhal tidak banyak mengambil air saat di bawah tadi, ternyata ada sumber air di atas. Kami mendirikan tenda tak jauh dari sumber air berada.  Air mengalir jernih di antara bebatuan, beberapa orang mengambil dengan botol plastik untuk dibawa ke tenda.

Pantas saja nama gunungnya talang, kalau di kampungku talang itu tempat menadahkan air ketika hujan tiba, jadi air melewati benda menyerupai pipa besar yang dibelah dua. Itulah yang disebut talang. Tapi aku tak benar-benar tahu kenapa gunung ini bernama Talang, dan aku enggan bertanya.

Saat itu masih zuhur dan aku membasuh wajahku dengan dinginnya air Gunung Talang, dingin dan menyegarkan, kayak ada manis-manisnya gitu. Belakangan, Bang Jos memberitahuku kalau tidak boleh mencuci muka di sumber air, katanya kasihan yang lain, mereka masak, makan dan minum pakai air itu, kalau dibuat cuci muka nanti tercemar. Begitu katanya.

Sekadar pembelaan, aku hanya mencuci wajah tanpa sabun kok, sama seperti mereka saat mengambil air dan memasukkan kakinya ke sumber air. Tapi, setelah itu jika ingin cuci muka aku lebih memilih memasukkan air ke dalam botol, kemudian cuci muka agak jauh dari sumber air. Besoknya aku melihat ada perempuan mencuci muka di situ lengkap dengan sabun pembersih wajah. Agak kesal pulak aku lihatnya.

Sore itu, kami menghabiskan waktu dengan berkeliling menuju sebuah bukit di tepi jurang, katanya di situ bisa melihat pemandangan Danau Talang melalui sebuah pohon tumbang, Dika membawa kami untuk melihat danau tersebut, hanya saja danau itu tidak terlihat dengan jelas. Pohon tersebut bergoyang-goyang ketika satu persatu kami menitinya untuk dapat melihat danau.

Danaunya di balik kabut
Danau Talang

Setelah itu, kami berjalan sedikit lebih jauh untuk melihat pemandangan yang indah, tapi lagi-lagi kabut datang menerpa dan segalanya kembali menjadi putih. Puncak Talang dengan segala kesombongannya kembali tidur dalam tebalnya selimut kabut. Kami duduk-duduk di sana menanti angin kencang berhembus berharap dapat mengusir kabut yang menyebalkan itu.

Kabut sedikit menghilang, mulailah gawai-gawai beraksi, jepret sana jepret sini sampai batrai habis dan kami kembali turun menuju tenda. Ikbhal dan Rahmad telah menyiapkan kentang goreng yang rasanya tak kalah dari kaefsi lengkap dengan sausnya. Yummi...

Kami berdelapan memakan kentang goreng dengan lahap di depan tenda. Ada tiga tenda yang didirikan, semuanya saling menghadap. Satu denda diisi oleh Ikbhal, Rahmad dan Dika, satu tenda aku dan Sofi serta satu tenda lagi, Said, Bang Jos dan Bang Rezky. Tenda Ikbhal dan Said berhadap-hadapan, bisa jadi saat mereka secara tak sengaja membuka pintu tenda bersamaan mereka akan saling bertemu pandang. Sedangkan tendaku, ketika aku membuka pintu, pemandangan Gunung Talang menyapaku dan akan mengucapkan selamat pagi jika aku membuka pintu di pagi hari.

Gunung Talang menyimpan banyak cerita. Terdapat babi-babi liar sebesar sapi lengkap dengan celeng (anak babi) berjalan-jalan tanpa merasa takut dengan kehadiran manusia. Justru aku sebagai manusia sempat ngeri juga membayangkan babi-babi ini tiba-tiba mengejar dan menyerudukku tanpa tahu malu. Tapi kusingkirkan pikiran anehku dan melihat babi-babi itu berlalu lalang tanpa merasa berdosa.

Aku terbaring lelah di dalam tenda, matahari belum beranjak dari peraduannya. Tiba-tiba bunyi tenda robek membangunkanku, serta-merta suara bapak-bapak dari tenda tetangga berteriak heboh ketika seekor babi berhasi menjebol tenda. Sayangnya, tenda yang dijebolnya adalah salah satu dari tenda kami, tenda Ikbhal yang lagi ditinggal sama penghuninya untuk cuci muka. Alamaak, sial kali nasib mu nak’e.

Logistik- memang semua berada di tenda tersebut, bisa jadi si Babi yang belakangan diberi kode Marco oleh pendaki lain mengendus bau makanan. Untung saja, isi tenda selamat, tapi dinding tenda bagian belakang lumayan robek meski tidak parah. Setelah Ikbhal dan teman-temannya datang mereka segera meletakkan batu-batu di sekeliling tenda agar aman dari serudukan babi. Dasar babi, memang babi lah.

Malam itu cerah, bintang terasa lebih dekat dibandingkan di Pekanbaru. Siluet Puncak Talang juga terlihat dengan jelas. Usai makan malam, beberapa orang masuk ke tenda, beberapa berjaga di luar sambil menikmati kopi.

Dari tempatku duduk di depan tenda, aku mendengar sayup-sayup orang berkaraoke ria menyanyikan lagu dangdut lengkap dengan speaker-nya. Dari tenda lainnya kudenger mereka menyanyikan lagu dengan suara sumbang diiringi alunan gitar dan ukulele. Ada juga yang sedang menghangatkan diri sambil mengelilingi api unggun. Malam yang indah dan cerah sebelum akhirnya babi-babi itu datang menyerang.

“Marco!!! Tenda Biru,” teriakan lantang dari salah satu orang dari tenda seberang parit. Teriakan tersebut disambut dengan suara heboh dari dalam tenda. Berharap Marco (babi) segera menjauh. Berhasil diusir, membuat Marco tak menyerah. Satu persatu tenda disambanginya, membuat kehebohan dari tenda ke tenda malam itu.

Beberapa orang dari tenda lain berjaga di luar, dengan memakai senter sambil menghalau jika babi-babi datang. Teriakan-teriakan terus menggema di Cadas Talang hingga tengah malam. Aku memutuskan untuk tidur lebih awal meskipun suara-suara teriakan dan endusan babi sesekali menjadi pengantar tidurku yang sedang letih ini.

Tak jarang aku terbangun tiba-tiba, ketika teriakan keras dari tenda sebelah yang menandakan Marco kembali datang. Lalu aku tertidur lagi dan tak peduli entah Marco atau siapa berbuat keributan. Aku telah tenggelam dalam pelukan malam yang dingin.

“Fi bangun Fi, jadi muncak gak, makan dulu ya,” suara dari luar tenda membangunkanku. Saat ku cek jam di gawai waktu menunjukkan pukul empat dini hari. Rencananya kami akan melanjutkan perjalanan menuju puncak subuh itu. Aku segera membangunkan Sofi (eh, aku yang bangunin dia atau dia yang bangunin ya? Lupa aku).

Ikbhal memberikanku semangkuk mie rebus. Satu mangkuk untukku dan satu mangkuk untuk Sofi. Tak lupa segelas energen yang aku minum berdua dengan Sofi. Aku segera melahap mie itu sebelum dinginnya subuh mengambil kehangatannya. Meskipun tidak habis. Ketika membuka resleting tenda, kabut pagi menerpa, tak lagi kulihat siluet Talang. Ikbhal mengatakan perjalanan ke puncak akan ditunda sampai kabut hilang. “Naik pun sekarang tak kelihatan apa-apa,” katanya.

Hingga pagi menjela, kabut tak kunjung hilang, disertai gerimis mengundang membuatku merapatkan SB dan kembali tertidur. Hujan sempat beberapa kali berhenti tetapi kabut tetap ada, hanya sesekali menghilang kemudian kembali datang.

Pagi berkabut di Gunung Talang

Katanya, cuaca di gunung tidak bisa diprediksi, jika sedang beruntung pendaki akan mendapatkan pemandangan sangat indah. Seperti pemandangan puncak Talang dari cadas, pemandangan tiga danau, yaitu Danau Di Atas  (berada di Nagari Alahan Panjang), Danau Di Bawah (Nagari Bukik Sileh Kecamatan Lembang Jaya) dan Danau Talang (Kampung Batu Dalam Kecamatan Danau Kembar). Selain itu, jug a ada hutan mati. Katanya asmaul husna ke-99 berada di puncak Gunung Talang.

Tapi aku harus berpuas diri dengan hanya mendapatkan pemandangan dari cadas, tanpa berhasil mencapai puncak, tanpa melihat pemandangan tiga danau dan tanpa menikmati eksotisnya hutan mati. Aku anggap ketidakberuntunganku hari itu adalah undangan gunung setinggi 2.597 mdpl ini untuk berkunjung sekali lagi.

Pagi itu kami habiskan dengan berkeliling, mencari apa yang bisa dicari dan mengabadikan apa yang bisa diabadikan. Bunga edelweis, kabut, babi dan lain-lain. Aku berlari-lari kecil di cadas, seperti seorang anak yang tidak pernah mendaki gunung. Sesekali aku hembuskan napas dan terlihat mulutku seperti berasap ketika berbicara maupun menghebuskan napas. “Sof ngerokok sof,” candaku.

Sebuah bendera merah putih berdiri tegak. Di bagian kakinya disangga dengan tumpukan batu-batu. Mungkin agar tiang penyangganya tetap berdiri tegak menghadapi terpaan angin siang malam di cadas.

Aku di antara kabut Gunung Talang

Dika mengajak kami untuk melihat kawah ketika cuaca sedikit lebih cerah. Aku, Sofi dan Bang Rezky mengiyakan untuk melihatnya. Berkata dalam hati, kapan lagi coba. Sudah  kepalang tanggung.

Mendaki puncak ternyata sedikit lebih susah. Batu-batu yang sedikit terjal serta napas yang ngos-ngosan ditambah tidak membawa persediaan air untuk minum. Sesekali kami beristirahat. Ketika hampir mencapai kawah dan sudah tercium bau belerang hujan rintik-rintik kembali mengguyur. Tidak ada satu pun dari kami yang membawa mantel, karena tadi hanya berniat untuk berkeliling, tidak untuk mencapai puncak.

Menuju puncak tapi tak sampai

Hujan semakin deras, kabut semakin pekat. Dika menanyakan kepada kami apakah ingin melanjutkan atau turun dan kembali ke tenda. Aku tidak tahu apa-apa tentang Gunung Talang, resiko apa yang akan kami hadapi jika melanjutkan perjalanan, Bang Rezky sepertinya pasrah dengan apapun keputusan yang akan diambil.

Akhirnya, kemi turun. Sofi menyemangati diri dengan mengatakan kepada kami, lebih tepatnya kepada dirinya sendiri. Katanya, puncak bukan tujuan, pulang dengan selamat adalah tujuan sebenarnya. “Bulshit,” batinku.

Turun gunung adalah hal mengerikan menurutku, bukan karena aku takut ketinggian atau sejenisnya. Lebih tepatnya aku terlalu mengkhawatirkan resiko terburuk, menggelinding hingga ke bawah misalnya, atau salah berpijak dan terguling atau tersandung dan yang paling kutakutkan adalah cedera lama yang bisa kambuh sewaktu-waktu. Kadang aku berpikir, jika aku memiliki ketakuta akan ketinggian. Tapi aku berpikir sekali lagi, sepertinya bukan demikian.

Aku pernah sekali ketika kelas VIII terjatuh dan membuat dengkulku sempat berpindah tempat. Orang selalu mewanti-wanti untuk terus berhati-hati ketika melangkah. Katanya jika pernah sekali, bisa dipastikan itu akan terulang kembali.

Sudah lama rasanya tidak kejadian lagi, terakhir ketika turun tangga di perpustakaan kampus beberapa tahun silam.

Bagi orang lain, turun mungkin hal mudah yang menyenangkan serta tidak melelahkan. Mereka bisa turun dengan cepat bahkan sambil berlari. Bagiku, turun meskipun tidak melelahkan tapi cukup membuat kakiku bergetar. Tak mengherankan saat aku turun selalu berada di barisan paling belakang.

Aku memakai sepatu yang cukup nyama dipakai mendaki, sepatu ini sudah menemani perjalananku hingga ke Bromo. Mungkin karena medan yang lebih berat tapak sepatu sedikit terbuka ketika mencapai cadas semalam. Sedikit was-was jika benar-benar lepas, artinya sepatuku akan lebih licin dan membahayakanku. Benar saja, saat turun dari kawah tapak sepatu kiriku terlepas dengan sendirinya. Duh malu aku sebenarnya, nampak kali sepatuku murahan.

Tertatih-tatih aku turun menuju tenda. Untung ketakutanku tak terjadi. Ketika di jalanan landai, Sofi, Dika dan Bang Rezky berjalan duluan dan kembali aku di barisan paling belakang.

Usai makan siang bersama kami berkemas untuk segera turun. Membersihkan sampah dan kembali membawanya turun, berkemas mengepak pakaian dan tenda.

Jaketku yang basah, SB yang lembab akibat air hujan yang meresap ke dalam tenda membuat bebanku bertambah berat. Aku meminta Ikbhal  untuk membawakan SB-ku , dan terang-terangan ia menolaknya. (memang bangke). Aku beralih ke Rahmad, dengan senang hati ia mau membawakan SB-ku dan mengurangi beban berat tas yang kubawa.

Meskipun telah berkurang satu beban, rasanya tasku tidak terlihat semakin kurus dan terkesan sama saja seperti sebelumnya. Beratnya pun sama, mungkin karena jaketku yang basah.

“Ada yang kehilangan sesuatu nggak, kacamata?” kata seorang Bapak di tenda sebelah.

Seketika telingaku berdiri mendengar kata kacamata. Pasalnya, aku kehilangan kacamata saat mendaki semalam. Kala itu, aku menggantungkan kacamata di kerah leher karena malas memakainya. Sedikit bersorak aku menyambut bahagia kacamata tersebut. “Selamat 300 ribu ku,” kataku dalam hati. Padahal kehilangan kacamata kemarin sempat membuatku shock dan menggalau sebelum akhirnya sampai di cadas.

Apa yang memang hak kita, milik kita, jika itu masih rezeki kita tentu akan kembali kepada kita. Seperti kasus kacamata itu. Aku tidak banyak berharap bisa menemukan kembali, bisa jadi kacamata itu terinjak seseorang, bisa jadi jatuh tertutup daun atau hilang ditelan kabut lembut. Tetapi ternyata Allah masih sayang dan memberikan kacamata itu dengan cara-Nya sendiri.

Dika, Said, Rezky, Jos, Sofi, Nafi, Rahmad, Ikbhal

***

“Fi, sinikan tasmu biar kubawakan, tak usah sok-sok an jatuh terus. Bilang aja mau dibawakan tasnya,” kata Ikbhal setelah melihatku terpeleset untuk kesekian kalinya. “Kalau kubawakan tasnya jalannya agak cepat ya,” tambahnya.

Previous Post
Next Post

8 comments:

  1. Aahkkk gilaa pengalamannya seru banget kaya baca novel petualangan hehe.. Ada lanjutannya yaah ternyata!

    ReplyDelete
  2. selalu pengen naik gunung, tapi sejauh ini masih shelter 1 marapi..ahaha tapi sepertinya Talang ini labih berat ya?

    ReplyDelete
  3. Serunyaaa, seru emang kalau udah mendaki gunung ini. Kek ada tegang-tegangnya gitu...

    ReplyDelete
  4. keren ya, aku bahkan blm pernah nanjak seumur hidupku. baru hiking aja dah gempor hahhaa
    thx lho sharingnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Cobalah kak. Setidaknya sekali deumur hidup jdi la

      Delete