Sunday, September 12, 2021

Liburan Dadakan dan Low Budget ke Sumatera Barat (Sumbar)

Pantai Puruih

Setelah sekian lama terkungkung di Pekanbaru dan hampir tidak pernah liburan akibat pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak awal tahun 2020 lalu, akhirnya aku diberikan kesempatan untuk menjejakkan kaki ke Ranah Minag lagi. Hingga akhirnya bisa menulis Liburan Dadakan dan Low Budget ke Sumatera Barat (Sumbar).

Di suatu hari yang cerah, masuk sebuah pesan di Group Teknokra Jejama, grup pelatihan jurnalis mahasiswa yang dibentuk sekitar tahun 2016 lalu. Pesan tersebut adalah undangan resepsi pernikahan salah satu anggota grup, yang berasal dari Padang, Sumbar.

Kemudian masuk pesan pribadi dari Ade, anggota dari Riau, sedikit nostalgia ya, peserta dari Riau dalam pelatihan itu ada Aku, Ade, Sofi, Azizah, dan Marta. Ade mengajak untuk datang ke pesta Uda Revo di Padang sekalian melepas letih dari pekerjaan. Aku hanya membalas akan mengabari jika waktu sudah dekat, pasalnya jam kerja yang tidak menentu sedikit menyulitkanku untuk menjanjikan hari.

Awalnya kami berencana untuk naik bus atau travel ke Sumbar, memerlukan waktu sekitar 6-8 jam perjalanan. Karena resepsi pernikahan hari Sabtu, kami merencanakan berangkat pada Jumat malam, dan pulang Ahad malam. Aku sempat ingin membatalkan rencana berangkat, terlebih sudah beberapa kali izin dari kantor, segan pula jika mengajukan izin lagi.

Namun, iseng-iseng aku meminta izin ke atasan, dan ternyata ia memberikan izin asal tugas dan kewajiban terselesaikan dengan baik.

Sebelumnya, teman-teman satu grup main, pernah mengajak untuk berlibur, namun tak kunjung terlaksana dan masih menjadi wacana. Aku pun berencana mengajak mereka, siapa tahu mereka ingin ikut. Akan sangat menyenangkan jika berbagi momen liburan bersama.

Gayung bersambut, anggota grup menyetujui, bahkan Bang Ridho siap menyediakan mobil dan tempat menginap selama di Sumbar, kata dia sekalian jumpa istri. Akmal juga menyambut baik, dan bersemangat dengan usulan pergi ke Sumbar. Kak Kiki meskipun ragu-ragu, akhirnya ia mendapatkan izin dari orang tua untuk pergi bersama kami. Hanya Laras dan Sofi yang berhalangan untuk menyertai.

Pergi ke Sumbar

Jumat malam kami berangkat, sekitar pukul 20.00 WIB lewat sedikit. Aku sudah makan malam dengan kenyang plus minum antimo agar tidak mabuk. Karena perjalanan ke Sumbar cukup jauh, aku harus mempersiapkan diri dengan baik.

Benar saja dugaanku, baru sampai Bangkinang, Kampar, aku sudah muntah-muntah mengeluarkan semua isi perut. Untung saja aku sudah menyediakan 15 kantong muntah untuk berjaga-jaga. Dari jumlah tersebut, aku menghabiskan 5 kantong saat mencapai Kelok Sembilan.

Di sana kami istirahat sejenak, menikmati dinginnya malam, dan semilir angin sejuk di Kelok Sembilan. Tak lupa memesan teh ditemani semangkuk mi rebus untuk menghangatkan diri. Aku yang sudah puyeng dan lemas hanya bisa makan sekadarnya. Untung saja aku pemabuk profesional, di mana selain menyiapkan kantong aku juga mengusahakan untuk makan setiap kali muntah, agar muntah ke depannya tidak terasa sakit.

Perjalanan dilanjutkan lagi, dan aku mengeluarkan kembali mi rebus bercampur teh dari lambungku. Untung saja, muntah ini menjadi muntah terakhirku hingga perjalanan pulang.

Kami menghabiskan malam yang hening dengan tidur, kecuali Bang Ridho yang fokus menyetir. Kemudian kami berhenti di Padang Panjang, dan beristirahat sejenak di musala sembari menunggu subuh tiba. Mungkin Bang Ridho sudah lelah menyetir tanpa ada yang menggantikan.

Perjalanan dilanjutkan setelah salat subuh, fajar belum lagi menyingsing, Bang Ridho sudah menginjak kembali pedal gasnya. Aku yang cukup tidur menikmati perjalanan pagi hari itu menuju rumah keluarga Bang Ridho, sebelum akhirnya berangkat ke Kota Padang untuk menghadiri resepsi.

Di tempat keluarga Bang Ridho kami beristirahat sejenak, mandi, berbincang-bincang, dan sarapan lontong yang disuguhkan empunya rumah.

Kota Padang

Sebelum ke resepsi pernikahan, kami diajak keliling-keliling kota oleh Bang Ridho, selain supir handal, ia juga berasal dari Sumbar. Kami menikmati pemandangan yang tidak ada di Kota Pekanbaru, seperti bukit-bukit yang menghiasi pemandangan kota, kereta api yang melintasi jalan raya, hingga pantai di tepi jalan raya, sangat indah bukan.

Awalnya aku mengira, akan terlebih dahulu ke resepsi pernikahan, tapi ternyata kita malah diajak mampir dulu ke Pantai Puruih. Sebenarnya tidak masalah, tapi ini membuat aku terlihat seperti salah kostum, kostum kondangan untuk main ke pantai. Tapi tidak apa-apa, siapa juga yang peduli, toh mereka juga tidak kenal.
Pantai Puruih

Di Pantai Puruih, kami menikmati pemandangan laut luas sejauh mata memandang. Bediri di batu-batu pemecah karang sambil berfoto, atau bermain air. Cukup banyak masyarakat yang menikmati pagi bersama orang-orang terkasih di pantai ini.

Selfie di Pantai Puruih

Meski kurang puas, akhirnya waktu makan siang tiba dan kami bertolak menuju resepsi pernikahan Uda Revo yang menjadi tujuan kedatangan kami ke Sumbar.

Berfoto bersama Uda Revo dan istri


Pulau Pasumpahan

Pulau Pasumpahan

Berjarak sekitar dua jam lebih dari Kota Padang, usai menghadiri resepsi Uda Revo kami akhirnya memutuskan untuk mengunjungi Pulau Pasumpahan. Kenapa baru diputuskan, karena sebenarnya kami tidak tahu harus ke mana. Yang kedua, tentu saja karena biaya ke Pasumpahan lebih murah dibandingkan pulau-pulau lainnya.

Sesampainya di Sungai Pisang, yaitu pesisir sebelum bertolak ke pulau-pulau tempat liburan di Sumbar, kami bernegosiasi terkait tarif yang harus dibayar. Awalnya, ada sesorang yang menawarkan Rp80 ribu per orang untuk menyeberang ke Pulau Pasumpahan, tapi belum termasuk tiket masuk.

Tentu saja keberatan dong, karena di hari biasa saja jika pandai menawar bisa Rp50 ribu sudab termasuk akses masuk ke pulau. Akhirnya kami mencari yang lain, dan putus di harga Rp70 ribu per orang sudah termasuk tiket masuk pulau. Ini termasuk mahal, tapi mungkin karena pamdemi ini jadi sedikit berimbas.

Kami membawa barang seperlunya untuk ke Pulau Pasumpahan, seperi air minum dan baju ganti.

Sesampainya di sana kami menyewa tikar kecil seharga Rp15 ribu untuk menumpuk barang. Jangan Kau tanya tentang keindahan Pasumpahan, tentu saja sangat indah, ada lokasi untuk berenang dengan ombak yang ramah, airnya berwarna biru jernih, dan tentu saja asin. Selain foto dan berenang, juga bisa bermain ayunan di tepi pantai. Ada juga gazebo-gazebo yang bisa disewa.

Berenang di Pasumpahan

Saat aku ke sana, cukup banyak orang yang mendirikan tenda untuk berkemah, rasanya jadi teringat masa-masa kemah di Pulau Sirandah beberapa tahun lalu.


Jangan khawatir, di Pasumpahan fasilitas umum seperti toilet dan musala juga sudah tersedia, dan ini gratis. Menyenangkan bukan?

Apa ada orang berjualan? Ada Sayang ada, mi, buah kelapa, dan lain-lain, ada. Kenapa kami tidak beli? Karena tidak punya uang.

O ya, kami tidak menginap di pulau, karena rencananya kami akan bermalam di Solok setelah dari Pasumpahan. Kami kembali menyeberang dari Pasumpahan ke Sungai Pisang saat matahari hampir tenggelam.

Solok


Setelah menyeberang, salat magrib, dan makan malam, berangkatlah kami menuju Kabupaten Solok, kampung halaman istri Bang Ridho. Ada apa di Solok? ada sawah, gunung, kebun teh, dan danau.

Ada banyak pemandangan sawah di kanan kiri jalan yang kami lewati. Setelah menikmati malam yang nyenyak karena kasur empuk, paginya kami diajak berkeliling Solok dan mengunjungi Danau Singkarak.

Di Solok, Kak Kiki tak henti-hentinya mengajak untuk camping di sawah sembari mencari belut. Tentu saja itu tidak dilakukan kawan.

Pagi itu kami duduk manis di tepi Danau Singkarak sambil menulis beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Ditemani juga dengan mi goreng, pensi langkitang, es teh, serta lagu-lagu anak dari odong-odong yang dikemas dengan menyedihkan.

Menikmati pemandangan di Danau Singkarak

Saat perjalanan pulang dari Solok, kami melewati jalan di sisi Danau Singkarak. Danau ini sangat luas sekali, bahkan aku mengira danau ini adalah laut. Jalan yang kami lalui sangat panjang, tapi Danau Singkarak seperti tak ada habisnya. Semilir angin dari danau yanh menyejukkan, tentu saja membuatku merasa harus membuka jendela mobil selebar-lebarnya, dengan leher melihat ke arah kiri jalan. Amazing.

Berfoto sebelum pulang di tepi jalan yang bersebelahan dengan Danau Singkarak

Ada banyak warung-warung di tepi danau, ada juga warung oleh-oleh di sana. Perjalanan pulang kami ditemani oleh lagu-lagu band tahun 2000 an, lagu India, hingga lagu Aceh bernuansa mistis yang telah di-remix.

Bukittinggi

Kami berpamitan dengan Solok, dan kembali ko Kota Pekanbaru. Tapi tak sah rasanya jika ke Sumbar tanpa singgah ke ikonnya Sumbar yaitu Jam Gadang di Bukittinggi.

Jam Gadang Bukittinggi

Sampai di Bukittinggi saat senja tiba, mega merah terpampang nyata ketika kami tiba di sana. Para muazin berseru melafalkan azan untuk mengajak para muslim dan muslimah menunaikan salat.

Usai salat magrib kami bermain dan menikmati malam di Jam Gadang, duduk-duduk melepas lelah, berkeliling, berbelanja makanan, dan kembali ke mobil untuk selanjutnya terlelap hingga sampai ke Pekanbaru menjelang subuh. 

Berfoto di Jam Gadang sebelum pulang

Satu lagi, kami berbelanja oleh-oleh makanan khas Sumbar di Sanjai Dunsanak setelah dari Bukittinggi.

Itulah perjalanan kami liburan dadakan ke Sumbar. Untuk rincian biaya lain-lain, adalah untuk bensin, akses wisata, ciki-ciki, dan makan.

Ini rincian biaya dari Ibu Bendum kami Kak Kiki:

SUMBAR TRIP TRAVEL RIDHO SILALAHI
Total Pengeluaran Rp. 1.473.000
Dibagi 4 Orang = Rp. 368.000

Total Iuran Awal
Rp. 200.000 x 4 = Rp. 800.000
Iuran Tambahan
Rp. 368.000 - Rp. 200.000 = Rp. 168.000

Rincian Pengeluaran
• Bensin
• Tempat Wisata
• Makan
• Makan
• ...
• Makan

Sekian Terimakasih
Previous Post
Next Post

0 komentar: